kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agar mempermudah, klasifikasi sanksi dalam RUU Perpajakan harus spesifik


Senin, 09 September 2019 / 16:53 WIB
Agar mempermudah, klasifikasi sanksi dalam RUU Perpajakan harus spesifik
ILUSTRASI. Ilustrasi Opini - Mengejar Potensi Penerimaan Pajak


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengatur ulang sanksi administrasi perpajakan. Upaya tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan DJP perlu memilah atau mengklasifikasikan sanksi berdasarkan pelanggaran dan risiko.

Baca Juga: Tarif sanksi administrasi pajak bisa lebih kecil, begini hitung-hitungannya

Yustinus menyebut penilaiannya sesuai dengan manajemen penanganan Wajib Pajak (WP) berbasis risiko atau compliance risk management (CRM) sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan DJP.

“Skema sanksi perlu diperbaiki, fokus ke upaya menciptakan efek jera dan kepatuhan. Sehingga fokusnya sanksi sebagai penguat pemeriksaan pajak dan penegakan hukum pajak,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Senin (9/9).

Dalam RUU tersebut, pemerintah mengklasifikasikan saksi administrasi pajak menjadi empat pelanggaran. Pertama sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan SPT masa.

Saat ini sanksi atas pelanggaran tersebut dikenakan tarif 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayar. Dalam RUU mengatur sanksi perbulan dari kalkulasi suku bunga acuan ditambah 5% dibagi dua belas.

Baca Juga: Rujukan Berubah, Sanksi Administrasi Bea Meterai Lebih Ringan

Kedua, sanksi bunga atas kekurangan bayar karena penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP) di mana saat ini diberikan sanksi 2% per bulan dari pajak kurang bayar. RUU tersebut merancang sanksi per bulan berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% dibagi dua belas.

Ketiga, sanksi bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu. RUU Perpajakan mengatur sanksi yang harus dibayarkan sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak. Sebelumnya PKP dikenakan 2% dari dasar pengenaan pajak.

Keempat, sanksi denda bagi pengusaha yang tidak lapor usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP. Saat ini, tidak ada sanksi administratif yang mengatur, sementara RUU tersebut memberikan sanksi 1% dari dasar pengenaan pajak.

Menurut Yustinus, beberapa poin masih kurang tepat. “Dalam RUU denda sanksi baiknya proporsional. Seharusnya dibuat progresif rentang waktu, semakin lama harus naik,” kata Yustinus.

Dia menilai skema sanksi administrasi pajak saat ini bisa menjadi insentif bagi WP yang tidak patuh atau mengulur pembayaran. Relaksasi sanksi tersebut menyasar kepada kesalahan-kesalahan kecil yang diakibatkan ketidaksengajaan. 

Baca Juga: Ditjen Pajak tetapkan dalam keadaan kahar untuk Papua dan Papua barat

Dia mengganggap untuk pelanggaran berat perlu sanksi atas tax audit, pemeriksaan bukti perkara (Bukper), atau penyidikan tetap.

“Maka rancangan sanksi administratif dalam RUU menjadi tidak adil, banyak yang menanggung sanksi adalah mereka yang sebenarnya relatif patuh atau menuju patuh,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Senin (9/9). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×