Reporter: Agung Jatmiko, Andri Indradie, Maria Elga Ratri, Mona Tobing, Ruisa Khoiriyah | Editor: Tri Adi
Dua pekan terakhir negeri ini geger. Sumber kegemparan bukan berasal dari panggung politik yang memang masih memanas sampai hari ini. Bukan. Tapi, sumbernya adalah isu beras palsu. Maklum, beras adalah bahan makanan pokok kebanyakan masyarakat Indonesia. Tambah lagi, bulan puasa tinggal sebulan lagi, ketika isu beras sintetis itu mencuat ke permukaan.
Memang, setelah melakukan uji laboratorium atas beras yang diduga beras palsu, pemerintah memastikan bahwa beras itu bukan beras sintetis dan tidak mengandung plastik. Tapi, bukan berarti tidak ada langkah lanjutan atas isu yang sempat membuat penjualan beras di pasar-pasar tradisional anjlok– sesuai klaim pedagang–itu.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel berencana mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang perizinan beras kemasan bermerek. “Untuk mencegah agar kasus beras sintetis tidak muncul lagi,” katanya.
Lewat peraturan menteri perdagangan (permendag), pemerintah bakal mewajibkan semua yang melakukan pengemasan dan pendistribusian atau perdagangan beras kemasan mendaftarkan diri sebagai pelaku usaha terdaftar beras. Dengan begitu, pemerintah bisa tahu semua pemain di bidang perberasan, jenis beras yang dikemas, maupun asal usul berasnya.
Ya, kasus beras sintetis mengungkap fakta tentang kelemahan pemerintah dalam pengawasan beras kemasan. Rachmat mengakui, pemerintah selama ini tidak memiliki data soal merek beras yang beredar di pasaran. Padahal, jumlahnya mencapai ratusan merek. Alhasil, pemerintah pun lumpuh dan tidak bisa langsung mengecek beras yang disinyalir beras sintetis itu produknya siapa dan siapa yang memproduksi.
Ke depan, dengan permendag itu, Kementerian Perdagangan (Kemdag) akan mendata semua merek beras yang ada di pasar. “Dengan aturan tersebut, kami akan fokus pada distribusi dan kejelasan produk beras,” tegas menteri yang juga punya perusahaan pengemas beras ini.
Selain aturan yang memperketat perizinan beras kemasan, beleid lain yang akan terbit juga memberikan wewenang bagi Kemdag menetapkan kebijakan harga komoditas utama. “Juga mengelola stok dan logistik serta ekspor impor bahan pangan,” ungkap Srie Agustina, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan.
Peraturan itu produk turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengendalian Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang sejauh ini masih di meja Presiden menunggu pengesahan. Yang pasti, pemerintah bisa menentukan harga maksimal barang kebutuhan pokok. “Bagaimana penetapannya, saat ini belum selesai. Perpres belum ditandatangani Presiden,” ujar Rachmat.
Stok beras aman
Lantas, bagaimana pasokan dan harga beras menjelang Ramadan dan Idul Fitri tahun ini? Rahmat memastikan, pemerintah bakal mengambil kebijakan dan tindakan apapun yang diperlukan untuk menjaga ketersedian dan harga beras juga bahan pangan lainnya.
Info saja, harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, terus merangkak naik menjelang bulan puasa dan lebaran. Harga beras jenis IR-64 I, misalnya. Pada 1 Mei lalu harganya masih Rp 8.600 per kilogram (kg) tapi di 28 Mei mencapai Rp 9.200 per kg. Begitu juga dengan beras Cianjur Kepala. Pada 1 Mei harganya masih Rp 12.000 per kg namun di 28 Mei mencapai Rp 13.400 sekilo.
Menurut Lely Pelitasari Soebekty, Direktur Perum Bulog, sampai 27 Mei lalu harga beli beras ke petani masih sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yaitu Rp 7.300 per kg. Dan, ia memastikan, stok beras di gudang Bulog saat ini terhitung aman untuk 5,5 bulan ke depan. Dengan musim panen yang masih berlangsung hingga kini, serapan beras Bulog dari petani rata-rata mencapai 25.000 ton per hari.
Biasanya. Lely menuturkan, kebutuhan beras nasional sekitar 250.000 ton per bulan tanpa menghitung momen bulan puasa dan lebaran. “Tapi kalau puasa dan lebaran biasanya ada operasi pasar yang secara historis rata-rata paling tinggi 75.000 ton sebulan,” kata dia.
Catatan Lely, hingga 27 Mei lalu beras yang dibeli Bulog sudah mencapai 1,1 juta ton. Makanya, ia optimistis sampai akhir tahun nanti Bulog belum perlu mengimpor beras. Sebab, setidaknya masih ada dua kali panen padi tahun ini. Satu panen besar dan satu panen kecil. “Kami upayakan maksimal penyerapannya,” ujarnya.
Apalagi, Kementerian Pertanian telah menerapkan Program Upaya Khusus (Upsus) untuk percepatan swasembada beras.Dan, Lely sangat berharap program tersebut berhasil di panen padi kedua tahun ini. Paling tidak, ditambah dengan Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GPPTT) yang dilakukan oleh Bulog dan para petani, perusahaan pelat merah itu bisa mendapatkan tambahan satu juta ton beras lagi.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menambahkan, hasil panen raya hingga April lalu tercatat sebanyak 32 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 20 juta ton beras. “Jadi, sampai lebaran nanti stok aman sehingga kita tidak perlu impor beras,” ujarnya menjamin.
Laporan Utama
MIngguan Kontan No. 36-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News