kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Adu kuat RUU melawan ratifikasi tembakau


Jumat, 26 September 2014 / 17:09 WIB
Adu kuat RUU melawan ratifikasi tembakau
ILUSTRASI. Promo Alfamidi Ngartis (Ngarep Gratisan) Periode 1-15 April 2023.


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Meski badai protes menghantam dari segala penjuru termasuk dari tubuh DPR sendiri, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan tidak terbendung. Senayan, tempat anggota dewan bermarkas, bergeming. Selasa (16/9) pekan lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan 30 wakil rakyat menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pertembakauan.

Aroma tidak sedap makin tercium dari balik calon beleid tersebut. Pembentukan Pansus RUU Pertembakauan semakin mengundang tanda tanya besar, terutama dari kalangan aktivis kesehatan dan antitembakau. Maklum, sejak awal, ketika RUU Pertembakauan tiba-tiba “nyelonong” masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2013, mereka sudah menolak mentah-mentah bakal aturan itu.

Tambah lagi, pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan (Kemkes) lebih dulu berencana meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Itu sebabnya, akhir Agustus 2014 lalu, Kemkes mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Badan Legislasi (Baleg) DPR, yang isinya meminta menghentikan pembahasan RUU Pertembakauan.

Toh, DPR maju terus, tetap menggodok RUU Pertembakauan, yang lewat Sidang Paripurna, Juli 2014 lalu, mendapat persetujuan sebagai RUU usul inisiatif dewan. “Pemerintah jangan memaksakan kehendak dengan meratifikasi FCTC. Tunggu sampai RUU Pertembakauan selesai dibahas DPR,” tegas Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua Baleg DPR.

Menurut Karding, yang dibutuhkan adalah Undang-Undang Pertembakauan bukan ratifikasi FCTC. Sebab, konvensi yang sudah diratifikasi oleh 172 negara itu berpotensi mematikan usaha petani tembakau.
Nah, dengan menginisiasi RUU Pertembakauan, DPR ingin mengakomodasi semua kepentingan, baik yang pro maupun yang kontra terhadap kebijakan pengendalian tembakau. “Petani dan industri rokok masih diberi ruang, tapi pengendalian mutlak untuk melindungi kesehatan masyarakat,” kata Karding yang menampik tudingan banyak kalangan bahwa RUU Pertembakauan adalah pesanan industri rokok.

Terlebih, Karding bilang, dari sisi pemerintah, hanya Kemkes, kok, yang menolak RUU Pertembakauan dan mendukung ratifikasi FCTC. Kementerian dan lembaga pemerintah yang lain justru tidak setuju meratifikasi kesepakatan di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang bertujuan membatasi peredaran rokok itu.

Hendrawan Supratikno, Anggota Pansus RUU Pertembakauan, menambahkan, yang melatarbelakangi DPR menginisiasi calon undang-undang ini lantaran tembakau merupakan komoditas penting dan memberikan kontribusi besar, dari hulu hingga hilir. Maka, perlu pengaturan yang komprehensif karena banyak kepentingan. Lagipula, banyak kebijakan publik yang memposisikan tembakau sebagai barang atau benda yang harus dimusuhi.

DPR juga melihat ada upaya dari industri rokok multinasional yang ingin menguasai pasar tembakau dalam negeri. Jika petani tembakau tidak mendapat perlindungan dari negara, mereka bisa hancur lantaran tak mampu menghasilkan bahan baku dengan standar tinggi dari pabrik rokok asing.
Dan, Hendrawan memastikan, Presiden terpilih Joko Widodo berkomitmen menggodok RUU Pertembakauan sampai selesai. Alhasil, jika RUU ini disahkan menjadi undang-undang, maka ratifikasi FCTC tidak perlu lagi. Tapi, jika banyak pihak tetap mendesak Presiden meratifikasi FCTC? “Presiden harus meratifikasi atau tidak, lihat saja nanti perkembangannya seperti apa,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Meski begitu, Agus Purwadianto, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes, menegaskan, pemerintah tetap jalan terus membahas rencana ratifikasi FCTC. “Kami tidak putus asa, pembahasan terus berlanjut,” ujarnya.

Dari 194 negara yang menjadi anggota WHO, tinggal 7 negara yang belum meratifikasi FCTC termasuk Indonesia. Dan, negara kita satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi yang bertujuan membatasi peredaran rokok.

FCTC mengatur pengurangan pasokan produk hasil tembakau seperti lewat larangan penjualan rokok kepada anak-anak. Kemudian, penyediaan kegiatan alternatif bagi petani tembakau, agar mereka mengurangi menanam komoditas itu. Ada juga pengurangan produk hasil tembakau melalui penerapan harga dan cukai yang tinggi.

Nah, kalau tidak meratifikasi FCTC, salah satu dampaknya, Indonesia menjadi negara yang banyak disasar perusahaan rokok asing. Soalnya, peredaran rokok di negara kita tidak seketat di negara-negara yang meratifikasi konvensi itu. Efek yang lain, Indonesia kehilangan hak suara di WHO dalam menentukan kebijakan-kebijakan pengendalian tembakau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×