kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada Larangan Ekspor CPO dan Turunannya, Penerimaan Bea Keluar Berpotensi Turun


Jumat, 29 April 2022 / 16:36 WIB
Ada Larangan Ekspor CPO dan Turunannya, Penerimaan Bea Keluar Berpotensi Turun
ILUSTRASI. Pekerja melintas di depan tumpukan kelapa sawit. ANTARA FOTO/Rahmad/hp.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menetapkan larangan sementara ekspor terhadap Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya yang berlaku mulai 28 April 2022. Kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan harga dan menjamin ketersediaan minyak goreng di pasar dalam negeri.

Larangan sementara ekspor tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 22/2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO (Crude palm Oil), RBD (Refined, Bleached, & Deoderized) Palm Oil, RBD (Refined, Bleached, & Deoderized) Palm Olein, dan UCO (Used Cooking Oil).

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto melaporkan, penerimaan bea keluar produk sawit sampai bulan Maret 2022 sebesar Rp 8,62 triliun atau tumbuh 148% yoy. Sehingga 80,56% penerimaan bea keluar disumbang oleh CPO pada perode Kuartal I-2022.

Baca Juga: Menilik Dampak Larangan Ekspor CPO dan Turunannya

“Penerimaan bea keluar ini didominasi RBD Palm Olein, RBD palm oil dan kernel sawit,” ujar Nirwala kepada Kontan.co.id, Jumat (29/4).

Nirwala mengatakan, dengan adanya pelarangan sementara ekspor CPO maka berdampak kepada menurunnya penerimaan bea keluar. Secara hitungan, pemerintah bisa kehilangan potensi penerimaan bea keluar sebesar Rp 2,87 triliun per bulan dengan adanya kebijakan pelarangan ini.

“Seberapa besar dampaknya tergantung dari berapa lama pelarangan ekspor diberlakukan. Negara memang membutuhkan penerimaan negara dan devisa, tetapi kepentingan rakyat di atas segalanya sesuai perintah presiden,” jelasnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, bahwa penerimaan bea keluar konstribusinya lebih besar disumbang oleh CPO dan produk turunannya yang bisa mencapai 80%.

Baca Juga: MAKI Berharap Kejagung Segera Menuntaskan Perkara Minyak Goreng

“Artinya jika Rp 8,62 triliun secara akumulatif maka per bulannya sumbangannya bisa berada di kisaran Rp 2,3 triliun. Inilah gambaran sederhana, penerimaan negara yang bisa hilang dari kebijakan larangan ekspor,” kata Yusuf.

Yusuf memperkirakan, jika belajar dari pengalaman kebijakan penanganan ata niaga minyak goreng di bulan Januari sampai dengan Maret, menurutnya minimal waktu yang dibutuhkan untuk kebijakan larangan sementara ekspor CPO ini adalah 2 bulan. “Menurut saya minimal waktu yang dibutuhkan untuk kebijakan ini mencapai dua bulan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×