kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.755   0,00   0,00%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Ada apa dengan Jokowi-Basuki dan DPRD DKI?


Kamis, 18 Juli 2013 / 12:36 WIB
Ada apa dengan Jokowi-Basuki dan DPRD DKI?
ILUSTRASI. Kurs Dollar-Rupiah di BCA Hari Ini Kamis 17 Februari 2022, Intip Sebelum Tukar Valas/05/10/2020.


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Warga DKI Jakarta belakangan disajikan berita adu manuver antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan anggota DPRD DKI Jakarta. Setelah wacana interpelasi Kartu Jakarta Sehat (KJS) hilang ditelan bumi, kini muncul topik lain, pembentukan Panitia Khusus Mass Rapid Transit (MRT) dan Pansus Monorel.

Pansus MRT dibentuk DPRD DKI pada Rabu, 12 Juni 2013 lalu. Adapun ada tiga hal yang jadi disorot, yakni belum adanya payung hukum stasiun bawah tanah dan pemanfaatan ruang bawah tanah, rencana komersialisasi ruang bawah tanah, serta Pemprov DKI memberikan penyertaan modal tanpa sepengetahuan para politisi Kebon Sirih tersebut.

Belum jelas kelanjutan Pansus MRT, DPRD DKI kembali membentuk pansus, kali ini soal monorel. Pansus itu juga menyoroti tiga hal, legalitas, pembiayaan, dan operasional. Aspek legalitas, monorel milik BUMN belum tertuang di Perda No 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Mengenai aspek pembiayaan, DPRD minta kepastian ketersediaan dana oleh pelaksana proyek. Adapun soal aspek operasional, yakni penggunaan produk kereta monorel dari China, bukan produk dalam negeri.

Jokowi-Ahok terus menghindar

Lantas, apa tanggapan Jokowi-Basuki soal pembentukan pansus tersebut? Ditemui di Balaikota, Rabu (17/7/2013), Jokowi mengaku sah-sah saja DPRD DKI membentuk pansus itu. Namun, ia berharap pembentukan itu tidak menyebabkan menghambatnya pembangunan, tetapi menjadi support pembangunan proyek MRT dan monorel.

"Kan harapannya dipanggil (DPRD DKI) lalu di-back-up. Dipanggil lalu didukung. Kan awal-awal kita didorong, kita sudah loncat sana-sini," ujarnya.

Sementara itu, Ahok, pria yang disebut-sebut pedagang kaki lima Tanah Abang sebagai raja tega, menilai pembuatan pansus hanya akal-akalan DPRD DKI Jakarta untuk mendapatkan honor dobel. Ini mengingat, dirinya berpengalaman sebagai anggota Dewan.

"Saya kan pernah di DPR, pansus itu kan ada honornya, jadi pasti dapat dobel, deh," ujar Ahok.

Meski berkoar-koar di media massa sebagai pihak yang benar dan selalu menjadi korban kezaliman anggota Dewan, eksekutif bergeming soal poin-poin yang disasar wakil rakyat DKI itu. Baik Jokowi maupun Basuki tak mampu menjelaskan dengan baik permasalahan yang disorot oleh DPRD DKI.

Jokowi-Basuki yang menjadi "media darling" itu hanya bisa melihat manuver anggota Dewan "digebuki" komentar warga di sejumlah media massa. Keduanya pun tak pernah mau datang saat dipanggil Pansus MRT sehingga komunikasi antara eksekutif dan legislatif lagi-lagi kandas. Bahkan, soal Pansus MRT, Jokowi menyerahkannya kepada Direktur Utama PT MRT dan pihak Bappeda DKI.

"Atau kalau enggak (Direktur Utama PT MRT), Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) DKI Jakarta saja. Mereka yang tahu detailnya, saya kan hanya makronya saja," lanjut Jokowi.

DPRD DKI menghambat pembangunan?

Gaya komunikasi antara eksekutif dan legislatif yang harusnya rukun itu disayangkan pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna. Namun, ia menilai DPRD DKI-lah yang menjadi biang permasalahan. Menurutnya, politisi Kebon Sirih itu hanya bisa mencari-cari kesalahan eksekutif tanpa memberi solusi terbaik atas permasalahan yang ada.

Sah-sah saja, kata Yayat, DPRD DKI membentuk Pansus MRT atau Monorel selama pansus itu memiliki korelasi positif bagi pembangunan Jakarta, bukan malah menghambatnya. "Kalau sampai mengubah jadwal pembangunan, itu namanya menghambat pembangunan pelayanan publik," tegasnya.

Entah apa penyebabnya, Yayat melanjutkan, para anggota Dewan tampak senang sekali menjerumuskan eksekutif, mungkin tak satu pun program eksekutif yang didukung para anggota Dewan. Sebut saja KJS, diinterpelasi; lelang jabatan lurah dan camat, dinilai tak menyertakan partisipasi publik; tarif parkir, dianggap tidak prorakyat; tarif angkot, diulur-ulur; dan masih banyak lainnya.

"Saya kira ini bisa saja karena ingin cari sensasi, juga bentuk kemarahan merasa ditinggali atau skenario politik untuk menjelekkan Jokowi. Jadi kalau gagal, bisa dikatakan, nah Jokowi gagal," ujar Yayat.

Ia menyarankan adanya rekonsiliasi atau semacam perbaikan hubungan antara "Tom and Jerry" ini. Jika dua lembaga tinggi di DKI Jakarta memiliki hubungan baik, maka pembangunan pun lancar, kesejahteraan juga diharapkan meningkat. Namun, apakah kondisi tersebut bisa terwujud? Entah kapan. (Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×