kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Abdi negara dengan upah minimum


Sabtu, 20 Oktober 2018 / 16:00 WIB
Abdi negara dengan upah minimum


Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Kemeja lengan panjang warna cokelat muda yang Sari Marwati kenakan memang tampak cerah. Tapi, raut wajah guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02 Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, ini kelihatan agak muram.

Maklum, harapannya menjadi pegawai negeri sipil pupus. Ia tidak lagi memiliki peluang untuk mengikuti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang sekarang sedang digelar serentak pemerintah pusat dan daerah.

“Saya terkendala usia,” ungkap Sari yang saat ini menginjak usia 37 tahun kepada Tabloid KONTAN lewat fitur sambungan panggilan video.

Syarat mengikuti tes CPNS maksimal umur 35 tahun. Batasan usia ini dalam sistem penerimaan CPNS itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Tapi, untuk mengakomodir Sari dan pegawai honorer berusia di atas 35 tahun lain, pemerintah menyiapkan skema rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) alias pegawai kontrak.

Meski begitu, skema itu bukan jawaban. Bagi Sari yang belasan tahun berstatus guru honorer, menjadi PNS merupakan harga mati. Apalagi, ia masuk golongan honorer kategori II (K-II) yang merupakan prioritas diangkat jadi PNS.

Sosok Sari merupakan contoh kecil dari sekian banyak pegawai honorer di lingkungan pemerintahan yang tak bisa mengikuti tes CPNS gara-gara terganjal usia. Padahal, itu tadi, mereka sudah menjadi honorer dalam kurun waktu lama.

Bahkan, demi memenuhi ambisinya menjadi PNS, Sari yang bergelar sarjana ekonomi sampai menempuh pendidikan strata satu (S1) di bidang keguruan.

Sebetulnya, skema PPPK cukup menarik. Meski tak menyandang predikat PNS, para PPPK memiliki hak keuangan atawa gaji yang sama dengan pegawai negeri sipil. Hanya, PPPK tak mendapat hak uang pensiun dan dikenakan evaluasi kontrak setiap tahun.

Lantaran tuntutan diangkat menjadi PNS merupakan harga mati, muncul gelombang unjuk rasa dari para pegawai honorer K-II di berbagai daerah, berbarengan dengan pembukaan pendaftaran CPNS secara daring di akhir bulan lalu. Dan, awal bulan ini demo masih terjadi di sejumlah daerah.   

Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), jumlah tenaga honorer K-II mencapai 438.590 orang. Masalahnya, sesuai UU No.5/2014, hanya ada 13.347 pegawai honorer K-II yang bisa mendaftar ikut tes penerimaan CPNS 2018. “Untuk yang tidak bisa mengikuti tes, kami siapkan skema P3K,” kata Menteri PAN-RB Syafruddin.

Kebijakan P3K, Syafruddin menegaskan, adalah bukti pemerintah tidak mengabaikan tenaga honorer yang telah berjasa bagi negara. Saat ini, pemerintah masih menyiapkan peraturan pemerintah (PP) yang bakal menjadi payung hukum pengangkatan tenaga honorer melalui skema P3K. Meski ini hanya berlaku untuk tenaga honorer yang bekerja di bidang pendidikan dan kesehatan.

Beleid tersebut kelak mengatur persyaratan menjadi aparatur sipil negara (ASN) dengan skema P3K. “Nanti tetap ada tesnya,” ujar Syafruddin.

Perbaiki kesejahteraan

Supriano, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menambahkan, pemerintah memiliki iktikad baik untuk membenahi standar gaji guru honorer. Selama ini, gaji guru honorer berbeda-beda tiap daerah, nominalnya juga relatif kecil.

Upaya memperbaiki kesejahtaraan guru honorer tersebut bukan saja lewat seleksi CPNS dan P3K. Bagi guru yang tidak lulus kedua tes itu akan tetap diupayakan mendapat gaji sesuai upah minimun regional (UMR) sebagai honorer.

“Jadi, kalau tidak lulus CPNS, maka dia akan diikutkan P3K. Kalau tidak lolos juga akan tetap jadi guru honorer dengan standar UMR,” jelas Supriano.

Rencananya, skema P3K baru pemerintah terapkan setelah proses pengangkatan guru melalui penerimaan CPNS 2018 selesai digelar. Saat ini, Supriano mengatakan, pemerintah masih fokus pada proses itu. Ada sebanyak 112.000 guru yang diangkat sebagai CPNS lewat jalur tersebut.

Sejatinya, Syafruddin menyatakan, tenaga honorer sudah tidak ada lagi. Sebab berdasarkan UU ASN, semestinya sudah tidak ada lagi rekrutmen tenaga honorer.

Namun, di lapangan tetap terjadi rekrutmen tenaga honorer, baik yang dilakukan kepala dinas maupun kepala sekolah. Tidak jarang, kebijakan ini tidak diketahui kepala daerah setempat.

“Padahal sesuai UU ASN, sudah tak boleh ada lagi rekrutmen guru atau aparat sipil negara honorer. Karena, rekrutmen ASN dilakukan melalui seleksi yang kredibel, akuntabel, dan transparan sebagaimana diatur PP Nomor 11 Tahun 2017,” tegasnya.

Ke depan, Syafruddin menegaskan, perekrutan tenaga honorer, baik guru, perawat, ataupun pegawai administrasi, secara “tidak resmi” tidak boleh ada lagi. Proses penerimaan pegawai pemerintah wajib mengacu UU No. 5/2014.

Soetrisno, Kepala SDN 02 Sukaraja, Palas, Lampung Selatan, menyambut baik larangan sekolah merekrut guru honerer. Tapi, ia meminta, pemerintah memastikan ketersediaan guru di sekolah-sekolah.

Idealnya, satu SD membutuhkan delapan guru. “Faktanya, hanya ada tiga empat guru, makanya kami merekrut honorer,” katanya.

Tentu, tenaga-tenaga honorer baru masih akan tetap ada, jika pemerintah pusat maupun daerah belum mampu menyediakan kebutuhan ideal pegawai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×