Reporter: Sofyan Nur Hidayat, Meylisa Badriyani | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Daftar industri yang sudah, atau berniat mengerek harga, bisa dipastikan akan panjang. Maklumlah, harga berbagai biaya produksi sudah pasti naik.
Kombinasi dari pelemahan rupiah, peningkatan upah minimum serta kenaikan tarif dasar listrik, sontak menggelembungkan biaya produksi. Ketiga faktor itu menjadi pemicu dari efek domino kenaikan harga.
Sejumlah industri yang produknya menjadi bahan baku bagi industri lain, bisa dipastikan tidak lolos dari jeratan pelemahan rupiah, peningkatan upah dan kenaikan harga. Ambil contoh industri kemasan.
Pelemahan rupiah, otomatis, mengerek harga bahan-bahan kimia yang menjadi bahan baku kemasan. Hitung-hitungan para pebisnis kemasan, harga harus naik 10% untuk mengimbangi biaya produksi yang naik.
Ketua Indonesian Packaging Federation (IPF) Henky Wibawa menilai kenaikan harga sekitar 10% masih wajar. Tapi kami masih menghitung besar kenaikan. Harga baru kemungkinan diberlakukan pada pertengahan Januari, katanya.
Kendati terpengaruh oleh perubahan tarif listrik dan upah pekerja, tak bisa dibantah rupiah yang melempem terhadap dollar AS merupakan alasan utama pebisnis kemasan mengotak-atik harga jual.
Saat ini, bahan baku kemasan yang berstatus impor menyumbang hingga 60% - 70% dari total harga pokok. Sedangkan perubahan tarif listrik dan gaji pegawai mempengaruhi sekitar 15% - 20% dari biaya pokok produksi kemasan. Tentu, setiap produk yang menggunakan kemasan akan merasakan kenaikan biaya ekstra. Selain dari rupiah, listrik, dan upah, mereka juga menanggung harga beli kemasan yang semakin tinggi. Nah, kebanyakan fast moving goods tentu membutuhkan kemasan. Jika merujuk ke pangsa pasar kemasan, bisa dipastikan makanan dan minuman
yang Anda konsumsi akan naik harganya dalam waktu dekat.
Selama ini, sebanyak 70% kemasan terjual ke para produsen makanan dan minuman. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman membenarkan sebagian besar anggota asosiasi ini sudah merencanakan kenaikan harga di tahun ini. Tidak mungkin lagi melakukan efi siensi dengan menurunkan margin.
Harga produk memang harus naik, kata Adhi. Sejumlah perusahaan pembuat makanan sudah mengerek harga jualnya sejak hari pertama di tahun ini. Sebagian lagi memang masih mematangkan rencana tak sedap itu. Dari penuturan para narasumber KONTAN, kenaikan harga produk makanan, paling sedikit, berkisar 5% - 10%. Kenaikan sebesar itu, menurut Adhi, terbilang sangat minim. Produsen memilih risiko margin tergerus karena mempert imbangkan daya beli masyarakat.
Kenaikan harga pada tahun ini, menurut Adhi, terjadi karena berbagai faktor yang berlaku merata di semua industri. Bagi industri makanan dan minuman, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) memberikan pengaruh terbesar.
Maklumlah, biaya pekerja menyumbang sekitar 5% terhadap total biaya pokok produksi. Sedangkan biaya energi, seperti listrik dan gas, hanya berkisar 2% dari ongkos produksi.
Celakanya, pos biaya bahan baku produsen makanan juga kemungkinan besar bergerak naik. Selain kemasan yang harganya sudah pasti terkerek, sejumlah bahan baku yang lazim digunakan produsen makanan juga menunjukkan tanda-tanda menggeliat naik. Seberapa besar kenaikan untuk tiap bahan baku, tentu berbeda-beda.
Kenaikan harga bahan baku bisa melambung tinggi jika ada pengaruh di luar listrik, rupiah dan upah. Ambil contoh daging sapi. Harga bahan baku makanan itu melonjak karena pasokan yang seret. Menurut kalkulasi pebisnis daging sapi, harga akan melambung hingga 30%.
Contoh pemasok daging sapi yang sudah mengubah banderol harganya adalah PT Kemang Food Industries (Kemfood). Perusahaan yang memproduksi bakso, sosis, burger, dan delicatessen itu telah menaikkan harga dalam kisaran 20% - 30% selama bulan Januari ini.
Marketing Manager Kemfood Wawan Kurniawan mengatakan, Kemfood sempat menyiasati kenaikan harga daging sapi dengan akibat pasokan yang seret dengan menekan margin. Tapi kenaikan harga produk menjadi tidak terhindarkan karena ada tambahan biaya dari kenaikan tarif listrik dan upah, tutur dia.
Selain pasokan yang seret, regulasi juga bisa menjadi beban ekstra bagi pabrikan yang tergolong industri makanan. Ambil contoh kenaikan tarif cukai untuk produk rokok.
Kendati tidak semua orang merokok, jangan terburu meremehkan dampak harga produk ini. Mengutip hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), pengeluaran untuk rokok bagi rumahtangga miskin merupakan yang terbesar kedua, setelah makanan pokok.
Kepala Humas Eksternal PT Gudang Garam Tbk, Yuki Prasetyo mengatakan, selain tarif listrik dan upah pekerja, kenaikan cukai rokok otomatis akan mengerek harga rokok. Namun, ia belum dapat memastikan kapan harga baru akan diberlakukan.Dengan mengacu ke kenaikan harga di tahun-tahun sebelumnya, kenaikan harga rokok tidak akan lebih dari 10%, kata Yuki.
Namun Gudang Garam tidak memberlakukan formula kenaikan harga itu secara merata ke seluruh produknya. Hanya produk-produk unggulan Gudang Garam yang mengalami perubahan banderol harga, seperti Gudang Garam Internasional, Surya 16 dan Surya 12.
Gudang Garam tidak sendirian mengerek harga. Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (FORMASI) Suhardjo menuturkan, para produsen rokok merencanakan kenaikan harga sekitar 10% - 15% pada tahun ini. Kenaikan akan dilaksanakan secara berkala selama enam bulan, terhitung sejak Januari 2013, kata Suhardjo.
Pemicu utama kenaikan harga rokok, menurut Suhardjo, adalah kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/04/2010. Beleid itu memuat kenaikan tarif cukai sekitar 5% - 7% per tahun.
Produsen rokok juga harus menyaksikan biaya bahan baku yang naik. Selain kemasan, harga tembakau, bahan baku utama rokok, terus mendaki selama tiga tahun - empat tahun terakhir.
Permintaan merosot
Ada juga industri yang cuma terpukul oleh kemerosotan kurs rupiah. Namun karena ketergantungan industri tersebut terhadap bahan baku impor sangat tinggi, rupiah yang loyo pun menjadi masalah serius. Nah, yang masuk dalam kelompok ini adalah industri farmasi.
Direktur PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius memastikan buntut pelemahan nilai tukar rupiah akan sampai ke harga obat. Produsen obat akan menaikan harga apabila rupiah terus melandai terhadap the greenback selama tiga bulan mendatang. Namun saat ini, Kalbe Farma masih wait and see. Kami masih monitor dulu, kata Vidjongtius.
Tak perlu heran jika rupiah punya peranan besar mengubah struktur biaya industri farmasi. Hampir semua bahan baku obat berasal dari luar negeri. Hitungan kasarnya, biaya bahan baku setara dengan 70% dari harga pokok. Otomatis, kenaikan kurs dollar AS akan mengerek naik mayoritas ongkos produksi.
Kenaikan upah dan listrik juga turut menggelembungkan biaya produksi obat. Hanya saja porsi upah dan listrik masih jauh di bawah bahan baku impor. Menurut Vidjongtius, upah dan listrik menyumbang sekitar 5%-8% dari harga pokok obat.
Di luar fast moving goods, produk yang bisa dipastikan terkena sabetan trisula listrik, rupiah, dan upah adalah produk sandang. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan, kenaikan listrik dan upah memicu kenaikan harga tekstil dan produk tekstil hingga 35% di tahun 2013. Dibandingkan kurs rupiah dan upah, listrik lebih berpengaruh dalam kenaikan harga produk tekstil.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, kenaikan tarif listrik memberikan efek snowball yang cukup signifikan. Ia beralasan, industri tekstil membutuhkan listrik dalam berbagai tahapan produksinya, mulai dari proses pembentukan benang, hingga tahap menghasilkan kain utuh.
Sayangnya, kenaikan harga itu menyebabkan permintaan menurun. Sejak sosialisasi kenaikan harga tekstil pada Desember 2012, terjadi penurunan permintaan tekstil yang cukup tajam, kata Ade.
Sektor industri besi dan baja juga menyiapkan harga yang baru di tahun 2013. Artinya, harga material bangunan juga akan mengalami kenaikan. Corporate Communication PT Krakatau Steel Tbk Wisnu Kuncara mengatakan, badan usaha milik negara itu masih melakukan pembahasan tentang kenaikan harga produk. Saat ini, kami melakukan kajian dan akan dibicarakan dengan asosiasi, kata Wisnu.
Satu sisi langkah menaikkan harga produk oleh industri di dalam negeri bisa menjadi solusi guna mengatasi beban biaya produksi yang membengkak. Tapi di sisi lain, kenaikan harga produk bisa melemahkan daya saing produk dalam negeri terhadap produk impor. Akibatnya produk impor akan membanjiri pasar. Maklum, dengan catatan nilai tukar rupiah tidak terlalu lemah, produk impor yang sejenis, harganya akan tetap tanpa kenaikan, dan menjadi pilihan utama konsumen.
Kekhawatiran itu disadari betul oleh para pelaku industri. Apalagi selama ini produk impor terus sudah membanjiri pasar. Situasi genting itu kini dirasakan oleh industri tekstil. Saat permintaan tekstil dalam negeri turun, Ade mengatakan, produk tekstil impor justru semakin diburu karena harganya yang lebih terjangkau.
Melihat keadaan itu, Ade memprediksikan pada Juni nanti produk tekstil impor akan semakin membanjiri pasar domestik. Dia pesimistis dengan masa depan produk tekstil lokal. Jika saat ini, produk tekstil lokal masih menguasai 35% pangsa pasar dalam negeri, bulan Juni nanti mungkin produk lokal hanya setara dengan 10% nilai pasar. Sisa pangsa pasar akan dikuasai oleh tekstil impor, terutama produk China.
Keputusan pemerintah menaikkan TDL, menurut Ade, tidak dibarengi dengan perkiraan kemampuan daya beli masyarakat. Faktanya, kebijakan itu justru semakin memanjakan produk tekstil impor.
Akibatnya perusahaan tekstil lokal kalah bersaing, dan terpaksa memberhentikan karyawan, untuk menekan biaya produksi. Ia menyebut , situasi tersebut kini sudah dialami beberapa pabrik tekstil di wilayah Jabodetabek. Kalau sudah begini, tekstil dalam negeri, ya, bisa mati, tutur dia.
Kekhawatiran terhadap dominasi produk impor paska kenaikan harga juga mengancam sektor makanan dan minuman. Di tahun 2012 saja, Gapmmi memperkirakan impor produk makanan dan minuman mencapai US$ 6 miliar. Angka tersebut mengalami kenaikannya 10% dibandingkan dengan realisasi impor tahun 2011. Tentu, pebisnis makanan berharap impor makanan minuman tidak naik lebih tinggi lagi. Tapi pemerintah sudah membuat berbagai peraturan terkait impor, semoga pertumbuhan impor bisa terkendali, kata Adhi.
Selama ini, impor produk makanan dan minuman sendiri lebih banyak berasal dari negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Thailand. Produk makanan impor yang banyak beredar di antaranya permen cokelat, makanan ringan, dan aneka bumbu masakan.
Pengusaha saja mengeluh, apalagi konsumen.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 15 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News