Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memberikan prioritas kepada industri pariwisata yang selama ini kurang begitu diperhatikan.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, para pelaku usaha di industri pariwisata berharap, setelah Kementerian Pariwisata terpisah sendiri, bisa lebih fokus dan tidak banyak mengeluarkan regulasi yang justru menghambat kelangsungan usaha di sektor ini.
"Saat ini kami tengah menunggu hasil uji materi soal pajak hiburan yang mana efeknya pada kelangsungan usaha juga sumberdaya manusianya," katanya kepada KONTAN, Senin (21/10/2024).
Menurut Maulana, pajak hiburan yang tinggi pada akhirnya berdampak pada serapan tenaga kerja dan potensi pemutusan hubungan pekerjaan (PHK) karena beban usaha meningkat. Padahal, semenjak pandemi Covid-19, industri hotel dan restoran belum betul-betul pulih. "Kami berharap tidak banyak terbit regulasi yang merugikan pelaku usaha," tandasnya.
PHRI juga memberi catatan agar Kebinet Merah Putih Presiden Prabowo yang berisi banyak kementerian baru hasil pemisahan bisa memperbaiki sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS).
"Dalam implementasinya justru menyulitkan dan menghambat karena urus perizinan seolah-olah harus pake jas konsultan. Padahal OSS ini dibuat agar lebih cepat dan mudah diakses secara mandiri," kata Maulana .
Baca Juga: Rosan Roeslani Ungkap Prioritasnya Sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi
Sejatinya, sistem OSS ditujukan untuk percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha serta mempermudah pelaku usaha. Namun pada pelaksanaannya bikin repot penguasaha akibat perubahan atau terbit aturan baru dari pemerintah daerah.
Selain itu, PHRI menyoal kebijakan sertifikat halal bagi industri kuliner di hotel dan restoran yang seakan membatasi inovasi produk kuliner. "Selain masalah biaya, kebijakan setifikasi halal seperti membatasi pelaku usaha dalam membuat inovasi-inovasi baru dari produk kuliner yang diminati pasar dan sedang tren," ungkap Maulana.
Tak cuma itu, PHRI meminta pemerintah menegakkan aturan soal perpajakan bagi online travel agent (OTA) atau agen perjalanan asing yang beroperasi di Indonesia. Pasalnya, meski mereka terdaftar penyelenggara sistem elektronik (PSE), tetapi jika tidak mendirikan badan usaha tetap (BUT) akan menyebabkan kerugian bagi pelaku pariwisata domestik.
Ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan BUT tentunya mengakibatkan kerugian terhadap pelaku usaha hotel dan konsumen, negara juga dirugikan. Ini karena negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Diketahui bahwa untuk PPN, nilai potensi pajak dari transaksi OTA asing dapat mencapai sekitar Rp 3,18 triliun. Sementara potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi sebesar 1,1% mencapai Rp 318,67 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News