kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OECD rilis kerangka pajak untuk perusahaan seperti Grab dan Gojek, ini kata pengamat


Selasa, 14 Juli 2020 / 19:30 WIB
OECD rilis kerangka pajak untuk perusahaan seperti Grab dan Gojek, ini kata pengamat
ILUSTRASI. Ilustrasi OECD


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Organization on Economic Cooperation and Development (OECD) pada awal bulan ini telah merilis kerangka pertukaran informasi pelaporan pajak untuk perusahaan digital berbasis jasa akomodasi dan transportasi seperti Gojek dan Grab. 

Kerangka tersebut tertuang dalam riset OECD yang berjudul Model Rules for Reporting by Platform Operators with respect to Sellers in the Sharing and Gig Economy (MRDP).

Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD Pascal Saint-Amans dalam risetnya itu mengatakan digitalisasi ekonomi pada platform berbasis jasa transportasi dan akomodasi belum dioptimalkan oleh berbagai otoritas pajak. 

Baca Juga: OECD: Tingkat pengangguran 2020 lebih besar dari krisis tahun 2008

Dia bilang banyak transaksi yang tidak dilaporkan kepada otoritas pajak baik oleh platform maupun oleh wajib pajak yang menyediakan jasa melalui platform itu sendiri.

OECD mengkaji kerjasama kerangka MRDP dapat meningkatkan akses otoritas pajak terhadap informasi transaksi perekonomian. Sebab, era digitalisasi mengubah metode pembayaran dari tunai menjadi non-tunai.

"Disetujuinya kerangka MRDP ini membuktikan konsensus untuk mengatasi masalah perpajakan ekonomi digital sangat mungkin dicapai. Hal ini membuktikan solusi bersama bakal membawa manfaat bersama," ujar Saint-Amans dalam keterangan resminya yang dikutip Kontan.co.id, Selasa (14/7).

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai skema MRDP perlu dipertimbangkan oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sebab, dalam model bisnis sharing and gig economy, utamanya yang berkaitan dengan sektor akomodasi dan transportasi, aliran penghasilan dan transaksi umumnya dilakukan melalui platform digital. 

Artinya pihak yang menyelenggarakan platform digital tersebut mengetahui nilai transaksi, jumlah transaksi, serta pihak yang melakukan transaksi. Selain itu, Ditjen Pajak perlu memahami bahwa tantangan pajak dalam model bisnis digital di sektor akomodasi dan transportasi tersebut lebih kepada upaya meningkatkan kepatuhan dari pihak-pihak yang diuntungkan dalam ekosistem bisnis tersebut. 

Baca Juga: OECD: Ekonomi global akan jatuh ke jurang resesi terburuk dalam 100 tahun

“Jadi tidak diperlukan skema pajak baru, tapi lebih kepada terobosan administrasi. Salah satu terobosan administrasi ialah dengan cara mewajibkan adanya pengumpulan dan pemberian informasi kepada otoritas pajak,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Selasa (14/9). 

Setali tiga uang, DDTC menilai dengan adanya informasi itu, otoritas pajak akhirnya bisa menelusuri siapa yang bertransaksi dan berapa besar nilainya, sehingga kepatuhan pajak bisa ditingkatkan. 

“Dengan meningkatnya kepatuhan dari pelaku di ekosistem bisnis itu, konsekuensi logisnya adalah penerimaan pajak yang meningkat. Pelaku ekosistem tersebut tentu bisa berasal dari orang pribadi, badan, atau pelaku UMKM,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×