Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Namun, putusan MK soal pemeriksaan terhadap anggota parlemen itu dikhawatirkan memunculkan masalah baru.
Dalam amar putusan, hakim konstitusi Arief Hidayat memaparkan bahwa frasa "persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan" dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 diubah menjadi "persetujuan tertulis dari presiden" sehingga dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR, yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus mendapat persetujuan presiden.
Pemohon perkara nomor 76/PUU-XI/2014 adalah Supriyadi Widodo Eddyono sebagai pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana sebagai pemohon II.
Pada kesempatan yang sama, permohonan dengan nomor perkara 83/PUU-XII/2014 juga mengajukan permohonan yang sama, yaitu terkait aturan penyidikan anggota DPR pada Pasal 245 UU MD3. Pemohon Permohonan tersebut adalah Febi Yonesta dan Rizal.
"Frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden," kata Arief saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Pasal 245 UU MD3 mengatur tentang perlindungan terhadap anggota DPR berupa pemberian izin oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR selama 30 hari apabila penegak hukum hendak memanggil anggota DPR untuk dimintai keterangan terkait suatu tindak pidana.
Putusan MK ini tidak hanya berlaku bagi anggota DPR, tetapi juga pada anggota MPR dan DPD. Adapun untuk anggota DPRD provinsi, izin pemanggilan harus mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri, sementara pemanggilan anggot DPRD kabupaten/kota harus mendapat izin gubernur.
Terkait putusan tersebut, tim kuasa hukum Febi Yonesta dan Rizal, Ichsan Zikry, justru khawatir bahwa putusan tersebut akan menimbulkan permasalahan baru karena izinnya melibatkan dua pihak, yakni eksekutif dan legislatif.
"Ini kan bisa jadi makin memperlambat proses dan tentunya kita khawatirkan sebagai bentuk impunitas yang baru," ujar Ichsan.
Dia juga menyayangkan diperluasnya putusan tersebut sehingga tidak hanya berlaku bagi anggota DPR, tetapi juga bagi MPR, DPD, dan DPRD. Semangat membangun kesetaraan yang ingin dibangun justru semakin diperparah dengan diskriminasi.
"Kalau begini caranya, semua kepala lembaga dan pejabat negara harus pakai izin. Coba bayangkan, berapa banyak potensi kesulitan dalam mengusut dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi dan sebagainya," kata Ichsan. (Nabilla Tashandra)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News