kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia akan bawa isu perpajakan ke forum G20


Senin, 30 Januari 2017 / 06:30 WIB
Indonesia akan bawa isu perpajakan ke forum G20


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Indonesia akan kembali membawa isu perpajakan internasional dalam forum G20 tahun ini. Rencananya, pertemuan forum tersebut akan diselenggarakan di Jerman pada Juli mendatang yang bertemakan "Shaping an Interconnected World".

Forum internasional tersebut melihat beberapa hal yang menjadi tantangan perpajakan saat ini. Pertama, penurunan pendapatan fiskal akibat pelarian pajak ke negara dengan tarif pajak rendah (Base Erosion and Profit Shifting atau BEPS). Kedua, perusahaan multinasional yang melakukan kegiatan usaha lintas batas di era digital.

Ketiga, tidak adanya keterbukaan informasi perpajakan internasional. Keempat, peran pajak untuk pembangunan yang belum optimal. Kelima, metode pengumpulan pajak di era digital yang belum optimal.

Oleh karena itu, forum G20 tahun ini akan fokus pada empat agenda pokok, yaitu meningkatkan kerja sama global untuk mengatasi permasalahan BEPS, mendorong transparansi informasi keuangan secara global untuk kebutuhan perpajakan, meningkatkan peran perpajakan untuk pembangunan, dan mendorong digitalisasi penarikan pajak di setiap negara.

Indonesia sendiri dalam forum tersebut akan menyuarakan beberapa hal, terutama yaitu komitmen BEPS melalui automatic exchange of tax information in financial sector (AEoI).

Salah satu perwakilan Bidang Forum G20 Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Kresna mengatakan, Indonesia akan menyuarakan kembali agar negara-negara yang telah berkomitmen terhadap implementasi 15 action plan dalam rangka penerapan anti BEPS, termasuk AEoI menghindari kompetisi menurunkan tarif pajak serendah-rendahnya secara tidak sehat.

"Dan kami juga mendorong bagaimana yurisdiksi yang tidak koperatif dinilai oleh negara lain sehingga kita bisa ketahui negara yang tidak patuh atau tidak koperatif terhadap peraturan perpajakan internasional," kata Kresna, Jumat (27/1) lalu.

Isu anti BEPS dan AEoi ini juga telah dibawah Indonesia dalam pertemuan G20 di China tahun 2016. Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro menggagas ide adanya sanksi semacam pengucilan pergaulan keuangan internasional bagi negara-negara yang tidak mau ikut serta, menyatakan ikut tapi menunda implementasi, hingga melanggar ketentuan.

Sebab dalam pertemuan tahun lalu diumumkan bahwa masih ada dua negara yang belum menyatakan secara eksplisit untuk mengimplementasikan AEoI, yaitu Bahrain dan Panama. Walaupun pada akhirnya Panama dikabarkan berkomitmen untuk mengimplementasikan komitmen tersebut.

Kresna yang juga merupakan salah satu Tim atau Working Group Finance Track G20 Indonesia mengatakan, dalam pertemuan tahun lalu terdapat tujuh kriteria yurisdiksi yang melanggar ketentuan yang disepakati. Sementara dalam pertemuan tahun ini, pihaknya akan mempertajam kriteria tersebut.

"Sehingga didapatkan negara yang dituju untuk mendapatkan sanksi itu," tambah dia. Sayangnya, ia enggan menjelaskan lebih rinci kriteria yang dimaksud.

Terkait hal ini, Deputi Koordinasi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman selaku Sherpa G20 Indonesia mengatakan, Indonesia sendiri saat ini tengah menyiapkan infrastruktur terkait implementasi AEoI agar bisa terkoneksi dengan sistem yang ada di negara-negara lain.

Menurutnya, dimungkinkan pula dalam forum tersebut dilakukan peninjauan kembali negara-negara yang telah mematuhi ketentuan dan negara-negara yang belum mematuhi ketentuan. "Jangan sampai ada satu negara yang tidak patuh untuk pertukaran informasi masalah pajak, tetapi seolah-olah dilindungi," tambah Rizal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×