kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Pemerintah jangan goyah soal PP 36


Rabu, 27 September 2017 / 23:09 WIB
Pengamat: Pemerintah jangan goyah soal PP 36


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2017. Dalam naskah peraturan itu, bagi wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak, PP ini berlaku atas harta bersih yang belum atau kurang diungkap.

Sementara bagi wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak, PP ini menyasar harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.

Menurut beberapa pihak, aturan ini memiliki satu poin yang memiliki potensi dispute, yakni pada Pasal 5 ayat 2 di mana nilai harta bersih non kas ditentukan oleh Ditjen Pajak (official assessment). Aturan ini juga dinilai kurang tepat untuk dikeluarkan saat ini lantaran ekonomi yang masih cenderung belum bagus.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dengan adanya kekhawatiran ini, pemerintah perlu tetap tegas dan tidak goyah. Menurutnya, kekhawatiran belebihan patut diwaspadai memiliki motif dan agenda terselubung.

“Yakni ditunggangi para pengemplang pajak yang ingin menjadi pembonceng gelap pembangunan bangsa dengan mengelabui aturan pajak,” katanya, Rabu (27/9).

Ia menjelaskan, tidak beralasan apabila terbitnya PP ini dipandang sebagai sikap represif dan wujud agresivitas Pemerintah dalam memungut pajak. Hal ini dikarenakan substansi dan konsekuensi UU Pengampunan Pajak yang sudah sangat jelas.

“Negara merelakan kewenangannya untuk tidak melakukan penegakan hukum secara keras. Masyarakat wajib pajak telah diberi kesempatan selama sembilan bulan untuk memanfaatkan program pengampunan pajak yang menghapus pajak terutang dan sanksi administrasi/pidana dengan membayar uang tebusan yang relatif rendah,” jelasnya.

Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap risiko yang timbul dari UU Pengampunan Pajak merupakan konsekuensi kebebasan dan pilihan yang diberikan UU.

Apabila tidak ada ketentuan dan sarana penegakan hukum yang jelas dan tegas, menurut Yustinus, hal ini justru akan mengesankan inkonsistensi Pemerintah dan DPR dan dapat menurunkan kredibilitas.

Wajib Pajak yang sungguh-sungguh jujur melaporkan seluruh harta, membayar uang tebusan, dan berkomitmen menjadi wajib pajak patuh juga akan merasa diperlakukan tidak adil.

“Sebaliknya, mereka yang dengan sengaja memilih untuk menjadi wajib pajak yang tidak patuh dan tidak memanfaatkan pengampunan pajak, tidak mendapat disinsentif atau penalti atas ketidakpatuhannya,” kata dia.

Oleh karena itu, ia menghimbau kepada masyarakat wajib pajak untuk tetap tenang, tidak perlu khawatir, dan tetap proporsional dalam merespon kebijakan Pemerintah karena hak dan kewajiban wajib pajak dijamin oleh Undang-undang.

“Wajib pajak juga tetap dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan melaporkan harta dimaksud ke kantor pajak. Di sisi lain, Ditjen Pajak sesuai UU mempunyai kewenangan untuk menguji kepatuhan wajib pajak melalui pemeriksaan apabila ditemukan bukti kuat bahwa masih terdapat penghasilan yang belum ditunaikan kewajiban pajaknya,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×