Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko perang mata uang atau currency war menghantui ekonomi global. Pelemahan mata uang yuan China sejak kemarin ke level terendah sejak 2008 yaitu menembus 7 yuan per dolar AS, menjadi babak baru perang dagang antara dua ekonomi raksasa dunia Amerika Serikat (AS) dan China.
Bank Indonesia (BI) mengawasi dinamika kondisi eksternal yang terjadi saat ini, termasuk pelemahan mata uang yuan China. Namun, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo meyakini pelemahan yuan tidak akan berlanjut lebih dalam lantaran akan berbalik memunculkan risiko terhadap ekonomi Negeri Tirai Bambu itu sendiri.
Baca Juga: Pagi ini, kurs yuan terhadap rupiah melemah 0,4%
“Tiongkok masih berkepentingan mencegah Yuan melemah terlalu dalam karena perlu mendorong permintaan domestik,” ujar Dody kepada Kontan.co.id, Selasa (6/8).
Pelemahan mata uang yuan yang terlalu dalam, menurutnya, akan mengganggu permintaan di dalam negeri China sendiri.
Sementara, permintaan domestik menjadi tumpuan di tengah melemahnya kinerja perdagangan eksternal China, terutama dengan risiko perang dagang yang berkepanjangan (prolonged trade-war).
Baca Juga: Sempat melonjak, harga emas spot kembali meredup pagi ini US$ 1.462,43 per ons troi
Dody menegaskan, BI akan terus mengamati dan mengantisipasi faktor-faktor risiko terhadap perekonomian makro di dalam negeri.
"Fokus kebijakan BI adalah memitigasi risiko yang dapat mengganggu ekonomi makro domestik dan stabilitas sistem keuangan,” tandasnya.
Adapun, pagi ini mata uang yuan terpantau berada pada level 7,05 per dolar AS. Sementara rupiah makin merosot menembus Rp 13.354 per dolar AS pada pukul 09.30 WIB di pasar spot.
Baca Juga: Yuan melemah, inikah saat yang tepat kulakan barang dari marketplace China?
Bersamaan dengan itu, indeks saham (IHSG) juga makin memerah, turun 1,72% ke level 6.069 setelah kemarin ditutup melorot 2,59%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News