Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu telah ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 April lalu. Tapi, sejumlah aktivis demokrasi dan pengamat politik menilai beleid baru tersebut menyimpan banyak kelemahan.
Politikus Senayan terkonsentrasi dalam perderdebatan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT), sistem pemilu, alokasi kursi di daerah pemilihan (dapil), dan metode penghitungan suara.
Sayangnya, isu yang selama ini banyak dikeluhkan salah salatunya tentang pengelolaan keuangan partai luput dari pemikiran. Sumarno, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menilai beleid pemilu yang baru lebih menguntungkan partai besar, karena mereka akan leluasa mengerahkan kekuatan, termasuk uang untuk pemenangan pemilu. "Harusnya belanja kampanye juga dibatsi, bukan hanya pemasukan dari sumbangan yang diatur," katanya kepada KONTAN, belum lama ini.
Sumarno mengungkapkan, sudah menjadi rahasia umum dana pribadi untuk kampanye diluar sumbangan jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga, hanya politikus kaya yang diuntungkan akibat ketiadaan aturan tersebut.
Ia menambahkan, hal ini akan memicu persaingan tidak sehat karena ketimpangan modal kampanye antara partai besar atau caleg kaya dengan partai kecil. "Ini semakin membuktikan adanya oligarki partai besar. Nantinya, politikus kaya yang akan banyak tampil," tandasnya. Kata Sumarno, situasi ini semakin diperparah akibat sanksi yang normatif terhadap pelanggaran dana kampanye, sehingga korupsi sulit dicegah.
Sebastian Salang, Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formapi) mengungkapkan, UU Pemilu 2012 tidak mampu menjawab persoalan sebelumnya. Parlemen berhasil mengamankan kepentingannya masing-masing. Tapi, ia bilang, semangat untuk mewujudkan partai yang transparan dan akuntabel, terutama menyangkkut pengelolaan keuangan sama sekali tidak ada. "Aturan sekarang sulit untuk mengatur biaya kampanye partai. Partai besar dan caleg berduit akan habis-habisan dalam kampanye," paparnya.
Ia pun prihatin karena tidak ada yang dapat mencegah parpol mengobral uang saat kampanye untuk memikat hati pemilih. Menurut Salang, langkah menggugat ke Mahkamah Konstitusi tidak akan mengubah keadaan. Pasalnya, MK tidak dapat menambahkan norma soal ketentuan pembatasan biaya kampanye itu.
Akhirnya, Formapi melihat parpol di parlemen tidak memiliki itikad baik dalam menciptakan budaya transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan partai.
Anna Muawanah, anggota Pansus RUU Pemilu dari F-PKB sebelumnya mengakui, pembatasan dana kampanye dari sisi pemasukan gagal dan menimbulkan ketimpangan, sertamendorong korupsi pejabat politik setelah pemilu.
Sebab itu, pembatasan dana kampanye dari sisi belanja penting untuk menjamin keadilan, kesetaraan, serta menciptakan kesempatan yang sama bagi parpok dalam berkompetisi. Ia mengambil contoh Pemilu 2009 yang menggunakan sistem proporsional terbuka, berdampak pada mahalnya biaya kampanye. Nah, biaya iklan di televisi yang makin mahal membuat belanja kampanye makin tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News