kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.948.000   47.000   2,47%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Ternyata BPJS tak menanggung semua


Kamis, 19 November 2015 / 07:00 WIB
Ternyata BPJS tak menanggung semua


Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Kini Sofian masih memendam kecewa terhadap Rumahsakit (RS) Urip Sumoharjo, Way Halim, Bandar Lampung. Cerita bermula saat ibunya, Kayati, jatuh sakit. Perempuan 46 tahun itu didiagnosa komplikasi paru-paru, asma, dan liver.

Kayati resmi menjadi pasien RS Urip Sumoharjo tanggal 30 Agustus 2015 dengan menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kelas I. Hanya saja, karena alasan kenyamanan sang ibu, Sofian dan pihak keluarga meminta ruang rawat inap VIP. RS menyanggupi dengan catatan pihak keluarga membayar semua biaya yang bisa muncul di luar tanggungan fasilitas BPJS Kesehatan kelas I tadi.

Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 7 September, ibunya yang belum sembuh mendadak disuruh pulang. RS Urip bilang, BPJS Kesehatan tak bisa membayar atau bertanggungjawab atas apa yang diderita pasien. “Besoknya, saya ajukan pulang saja,” ujar Sofian ke KONTAN, Senin (9/11).

Begitu Sofian mengurus segala administrasi dan menanyakan berapa jumlah biaya yang harus dia tanggung, RS Urip menjelaskan, total biaya Rp 11 juta. “Yang harus dibayar Rp 8 juta, yang ditanggung BPJS Rp 3 juta,” kata RS seperti dituturkan Sofian.

Cuma, lanjut dia, RS tak bisa memberi rincian detail total biaya tersebut untuk pembelian alat atau penangan medis apa saja. Perlakuan tersebut berbeda dengan RS Awal Bros, Tangerang, Jakarta, di mana ibunya juga pernah dirawat. Di RS Awal Bros, Sofian bukan cuma memperoleh rincian mendetail, tapi juga mendapat pertanggungan Rp 16 juta dari BPJS Kesehatan. Sehingga, Sofian hanya bayar Rp 1,4 juta ke RS Awal Bros.

Merasa ada sesuatu yang tak beres, Sofian akhirnya melaporkan perlakuan RS Urip Sumoharjo ke BPJS Kesehatan Bandar Lampung. Bahkan, ia sampai membawa kabar ini ke meja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lantaran tak ditanggapi oleh pihak BPJS Kesehatan. “BPJS hanya ngomong saja. Tidak ada yang benar-benar bertindak meluruskan,” cetus Sofian.

Cerita ini berakhir tanpa penyelesaian. Sementara pihak RS Urip menyatakan sudah memberikan keterangan yang detail dan jelas kepada pihak keluarga Sofian. Marketing RS Urip Sumoharjo Desmina mengatakan, biaya yang harus ditanggung pasien di luar tanggungan BPJS Kesehatan Rp 8 juta dengan total biaya Rp 11 juta.

Menurut Irfan Humaidi, Kepala Departemen Komunikasi dan Humas BPJS Kesehatan, perbedaan tarif tersebut bisa terjadi lantaran setiap RS memberi penanganan medis yang berbeda-beda. BPJS Kesehatan sudah menetapkan tarif inasibijis.

Tarif inasibijis adalah tarif diagnosis dokter terhadap pasien yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Nilai pertanggungan BPJS Kesehatan antara RS Urip Sumoharjo dan RS Awal Bros bisa berbeda lantaran penanganan medisnya tidak sama. Setiap penanganan medis berdasarkan diagnosis tertentu terdapat tarif yang sudah jelas, mana yang ditanggung BPJS Kesehatan dan mana yang tidak.


Pengawasan dan harga keekonomian
Kata Irfan, saban bulan, BPJS Kesehatan menemukan kasus-kasus seperti yang dialami Sofian. Bahkan, modus dan ragam kasusnya makin bervariasi dari waktu ke waktu.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menambahkan, beberapa kasus yang sering terjadi adalah pembebanan biaya kepada pasien. Pasien diminta pihak RS membeli obat ke apotek. Belakangan, biaya pembelian obat itu dimasukkan oleh pihak RS untuk klaim ke BPJS Kesehatan.

Kemudian, ada lagi RS yang meminta pasien meneken penanganan medis rawat inap meski pada kenyataannya pasien disuruh rawat jalan. Istilahnya,
mark-up alias penggelembungan harga. Ketidaktahuan pasien dimanfaatkan secara culas oleh RS demi keuntungan.

Kasus lainnya, ada pula model pembelian darah transfusi. Meskipun, sebenarnya darah transfusi sudah ditanggung BPJS Kesehatan. “Sampai sekarang, masih banyak sekali model kasus-kasus seperti itu terjadi. Setahun, ada kira-kira 30–40 kasus RS curang seperti itu,” ujar Timboel.

Hasil kajian Budi Hidayat, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pun seolah-olah menegaskan berbagai tindak curang rumahsakit nakal tersebut. Berdasarkan kajian dari Januari–Mei 2015 di sejumlah RS di berbagai wilayah di Indonesia, ditemukan fakta masih banyaknya RS menarik biaya tambahan ke pasien.

Tentu saja sikap RS itu sangat serius dampaknya. Tengok saja, dari total seluruh iuran yang masuk ke BPJS Kesehatan, sekitar 73% di antaranya untuk membayar klaim dari RS. Jika jumlah iuran ke BPJS Kesehatan per September 2015 sekitar Rp 39,1 triliun, artinya klaim untuk RS porsinya kira-kira Rp 25,54 triliun. Catatan saja, jumlah klaim per September 2015 lalu mencapai Rp 41 triliun.

Irfan tak menampiknya. Memang ada beberapa RS yang berlaku nakal. Sanksi diberikan BPJS Kesehatan dari mulai surat peringatan sampai pemutusan hubungan kerjasama. Beberapa kasus yang tahun ini yang menyebabkan BPJS terpaksa memutus hubungan kerjasama antara lain di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Untuk mengantisipasi tindak-tindak seperti itu, BPJS Kesehatan sudah menempatkan verifikator di setiap RS yang bekerjasama dengan pihak BPJS Kesehatan. “RS menagihkan ke BPJS Kesehatan, kami yang verifikasi,” tutur Ifran.

Hanya saja, Timboel menimpali, seringkali verifikator sebagai fungsi pengawasan itu belum bekerja sebagaimana mestinya. Salah satu yang membikin ketidakefektifan itu adalah masih dipakainya pegawai kontrak. Oleh karena itu, Timboel berharap, jangan ada lagi pegawai kontrak yang menjadi verifikator. Artinya, ke depan semua verifikator sebisa mungkin adalah pegawai tetap BPJS Kesehatan.

Di samping pengawasan, untuk mencegah tindak curang RS terulang adalah dengan menciptakan harga keekonomian alias nilai wajar yang “pas” bagi bisnis RS. Setiap RS atau klinik, terutama yang swasta, mengeluarkan biaya lebih tinggi jika dibandingkan dengan RS milik pemerintah. RS-RS swasta tersebut juga memikirkan bagaimana perusahaan tetap harus jalan. Nah, pemerintah seharusnya menghitung dengan cermat nilai keekonomian berbagai alat dan pelayanan. “ Dan, insentif pemerintah untuk RS swasta juga penting supaya banyak RS swasta tertarik bekerjasama,” pungkas Timboel.          


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 08-XX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×