kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45993,60   -993,60   -100.00%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terlambat diberikan, efek insentif sektor properti belum signifikan


Sabtu, 20 Oktober 2018 / 16:57 WIB
Terlambat diberikan, efek insentif sektor properti belum signifikan
ILUSTRASI. KPR BERSUBSIDI


Reporter: Grace Olivia, Lidya Yuniartha | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor properti terus mendapat guyuran insentif, mulai dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan yang terbaru dari Kementerian Keuangan (Kemkeu). Namun, insentif tersebut dinilai terlambat karena sektor properti membutuhkan "obat" sejak beberapa tahun lalu.

Padahal, sektor properti berperan signifikan bagi perekonomian nasional. Sektor ini menjadi indikator penting daya beli masyarakat dan perekonomian nasional.

Sektor properti berkinerja cemerlang sebelum tahun 2013 dengan pertumbuhan tinggi. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di sektor real estate tahun 2013 mencapai 6,54% year on year (yoy). Bahkan pertumbuhan sektor tersebut setahun sebelumnya mencapai 7,41% dan 2011 sebesar 7,61%.

Sejak saat itu, pertumbuhan PDB sektor properti melorot di bawah 5% yoy. Terbaru, pada kuartal II-2018, PDB di real estate hanya tumbuh 3,11%, terendah sejak tahun 2011 (lihat tabel).

Bersamaan itu, kontribusi real estate terhadap PDB pun melorot. Pada kuartal II-2018, nilai ekonomi sektor real estate hanya Rp 100,79 triliun atau 2,74% terhadap PDB.

"Dulu kami sudah suarakan agar sektor properti dilonggarkan. Kalau sekarang baru diberikan, terlambat," jelas Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, Jumat (19/10).

Ali pun pesimistis insentif-insentif tersebut bisa berdampak signifikan terhadap pembelian sektor properti. Pasalnya, selain pasar properti yang lesu, saat ini investor maupun pembeli cenderung mengambil sikap wait and see menjelang tahun politik 2019.

"Untuk tahun depan, pajak tidak jadi pertimbangan utama pasar. Lebih ke faktor psikologis pertimbangannya," lanjut Ali. Program insentif tersebut kemungkinan baru bisa menjadi trigger terhadap pasar, terutama menengah ke atas, pasca berlalunya tahun politik.

Namun Ali menyarakan, pemerintah tak perlu menghapus pajak barang mewah terhadap properti. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) harus tetap ada untuk membedakan kelas properti. "Kalau sekarang 20%, dikurangi saja," saran Ali.

Hal itu terkait dengan efektivitas kebijakan tersebut. Berdasarkan data pasar yang dimiliki Ali, kontribusi pajak barang mewah dari properti cenderung kecil. "Apartemen di Jakarta saja di bawah 5% yang kena PPnBM, kalau tidak salah cuma sekitar 3%," ujar Ali.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menganalisa, berbagai insentif belum akan menjadi momentum kebangkitan properti dalam waktu dekat. Pasalnya, tren suku bunga kredit sedang tinggi. Lalu, insentif pajak hanya menyasar segmen atas. "Apalagi, sekarang ada kasus-kasus properti dan apartemen yang bisa membuat pembeli menahan diri," jelas Josua.

Josua memproyeksi, kontribusi sektor real estat terhadap PDB maupun laju pertumbuhannya sendiri masih akan tertahan di tahun depan. "Masih akan stuck di bawah level 5% di tengah datarnya geliat sektor properti karena depresiasi rupiah dan kenaikan harga bahan-bahan bangunan," tandas Josua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×