Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Pemerintah mengaku mendapat tiga keuntungan dari kenaikan tarif bea masuk impor. Selain bisa memproteksi industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing mereka, aturan itu juga menambah pundi-pundi pendapatan negara.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) menghitung, tambahan penerimaan dari PMK Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Barang Impor itu mencapai Rp 800 miliar. Nilai itu hanya untuk periode 23 Juli hingga akhir 2015 saja.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Suahasil Nazara, tambahan Rp 800 miliar ini cukup membantu penerimaan negara yang sedang loyo. Target penerimaan bea masuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sebesar Rp 37,2 triliun. Sementara realisasinya hingga 30 Juni 2015 baru Rp 15,42 triliun atau 41,16% dari target.
Ekonomi yang lesu membuat pemerintah pesimistis bisa mencapai target penerimaan negara dari pos bea cukai.
"Tapi penerimaan negara bukan tujuan utama kebijakan ini," kata Suahasil, Senin (27/7). Alasan utama pemerintah mengeluarkan aturan ini adalah memproteksi barang produksi dalam negeri.
Seperti diketahui, Kemkeu menaikkan rata-rata tarif bea masuk impor menjadi sekitar 15% hingga 150% tergantung jenis barang impor. Sebenarnya tidak semua tarif bea masuk impor naik.
Bea masuk impor empat pos tarif mesin pesawat terbang dibebaskan bea masuknya dari sebelumnya 5%. Pemerintah beralasan, tarif bea masuk mesin pesawat perlu dihilangkan karena belum bisa diproduksi oleh industri di dalam negeri.
Selebihnya, ada sekitar 1.151 pos tarif produk konsumsi yang terkena kenaikan tarif bea masuk. Minuman beralkohol, misalnya, dari sebelumnya berbasis volume, kini berbasis prosentase dengan tarif 90% hingga 150% dari harga.
Kenaikan tarif bea impor barang konsumsi ini dipercaya tidak berdampak besar bagi inflasi dan daya beli masyarakat. Sebab persentase impor barang konsumsi hanya 5%-6% dari total impor.
Bahkan menurut Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan dan Iklim Usaha Industri Kementerian Perindustrian (Kemperin) Haris Munandar, kenaikan ini menjadi jalan pembenahan industri hilir Indonesia. "Hampir 70% bahan baku penolong berasal dari impor," katanya.
Meski mendukung aturan ini, tapi pengusaha meminta kejelasan tarif konsumsi dengan tarif impor bahan baku seperti teh, kopi dan coklat. "Masih tumpang tindih," kata Siem Dwiatmoko Setiono, makanan dan minuman yang juga pengurus GAPMMI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News