Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengimbau, Bank Indonesia (BI) tak perlu buru-buru untuk mengerek suku bunga acuan, di tengah progres pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
“Kami berharap BI tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan, karena ekonomi kita masih dalam proses pemulihan,” tutur Airlangga saat ditemui awak media di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (5/8).
Airlangga mengatakan, ini seiring dengan tingkat inflasi inti yang masih rendah. Adapun pada Juli 2022, inflasi inti tercatat 2,86% yoy. Dan sebagai informasi, inflasi inti ini menjadi acuan BI dalam menaikkan suku bunga acuan, karena menunjukkan fundamental permintaan.
Selain itu, imbauan untuk tak perlu buru-buru kerek suku bunga acuan juga melihat dari sisi perbankan, yaitu kredit perbankan tercatat tumbuh 10,66% yoy pada Juni 2022, dengan tingkat NPL terjaga pada level 2,86%. Kemudian pertumbuhan dana pihak ketiga jauh lebih tinggi sebesar 9,13% yoy.
Baca Juga: China dan Taiwan Terancam Perang, Sri Mulyani Was-was?
Airlangga juga menimbang kondisi eksternal Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih relatif baik dan terkendali. Ini terlihat dari neraca perdagangan sepanjang semester I-2022 yang sebesar US$ 24,89 miliar atau lebih baik dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar US$ 11,84 miliar.
Sebenarnya, Gubernur BI Perry Warjiyo juga pernah mengatakan pihaknya tak buru-buru menaikkan suku bung acuan, meski sederet bank sentral negara lain sudah mulai menaikkan suku bunga kebijakannya, termasuk bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Menurut Perry, dalam menentukan kebijakan suku bunga acuan tidak perlu latah untuk mengikuti kebijakan suku bunga negara lain. Yang terpenting, adalah melihat kondisi dalam negeri apakah memang sanggup untuk menghadapi peningkatan suku bunga acuan.
“Jadi, harus dilihat kondisi inflasi inti dan juga keseimbangan dengan pertumbuhan ekonomi. Jadi, tidak otomatis suku bunga bank sentral negara lain naik, lalu kita ikutan naik. Semua tergantung kondisi dalam negeri,” tutur Perry dalam konferensi pers KSSK, Senin (1/8) secara daring.
Menurut Perry, inflasi inti yang menjadi acuan bank sentral ini menunjukkan sisi permintaan dan penawaran. Data terkini, inflasi inti per Juli 2022 tercatat sebesar 2,86% yoy yang menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri belum terlalu tinggi sehingga ini belum jadi alasan kuat bagi BI mengerek suku bunga acuannya.
Baca Juga: Ini Jurus Pemerintah untuk Capai Pertumbuhan Ekonomi 5,2% pada Tahun Ini
Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi, BI melihat pertumbuhan ekonomi sudah mulai menunjukkan taringnya. Namun, pertumbuhan ekonomi ini belum menunjukkan pemulihan yang signifikan bila dibandingkan dengan pra Covid-19.
Lebih lanjut, Perry juga mengingatkan kebijakan moneter BI ini tidak terfokus pada suku bunga acuan. Saat Perry menahan suku bunga acuan, Perry juga melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah maupun mengelola likuiditas.
“Stabilitas nilai tukar ini dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan bagian dari pengendalian inflasi. Kalau likuiditas, kami sudah mulai mengurangi likuiditas yang berlebih, tetapi kami pastikan ini tak akan mengurangi kemampuan perbankan menyalurkan kredit,” tandas Perry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News