kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tabrakan Perda tentang penataan PKL di DKI


Selasa, 17 Desember 2013 / 08:05 WIB
Tabrakan Perda tentang penataan PKL di DKI
ILUSTRASI. Para pekerja atau buruh yang resign dari tempat bekerja mempunyai hak untuk mendapat uang pisah dan uang penggantian. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazarfoc


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi mengizinkan pedagang kaki lima memasuki ruang publik. Aturan ini jelas bertentangan dengan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang justru melarang PKL di ruang publik.

Aturan ini menimbulkan kebingungan masyarakat. Ironisnya, belum ada solusi yang disiapkan untuk mengantisipasi persoalan itu. ”Perda ini butuh pengawalan ketat dari masyarakat agar bisa menjadi tuntutan di kemudian hari,” kata Koordinator Komunitas Peta Hijau Jakarta Nirwono Joga dalam diskusi bertema ”Membangun Jakarta Kota Manusiawi”, di Jakarta, Senin (16/12/2013).

Nirwono mengapresiasi sekaligus mengkhawatirkan penerapan Perda RTDR sebagai aturan hukum pertama di DKI Jakarta yang mempersilakan PKL.

”Seharusnya pemerintah mengkaji dulu aturan hukum dan jumlah PKL. Tujuannya melihat seberapa besar kebutuhan dan daya tampung PKL di ruang publik,” kata Nirwono.

Tidak hanya itu, Nirwono mengatakan, kewajiban penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) dalam Perda RTDR juga bentrok dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU itu, pemerintah diminta menyediakan RTH 20 persen dan swasta 10 persen. Namun, dalam Perda RTDR, peran pemerintah menciut hanya 16 persen dan kewajiban swasta justru melonjak menjadi 14 persen.

Nirwono belum yakin penyediaan RTH versi Perda RTDR efektif menambah kawasan hijau DKI Jakarta hingga 6 persen tahun 2030. Sebab, belum ada terobosan berarti yang dilakukan pemerintah. ”Pengelolaan tanpa terobosan yang dilakukan DKI Jakarta tahun 2000-2013 hanya mampu meningkatkan RTH Jakarta kurang dari 1 persen.

Mengenai target penambahan RTH publik 6 persen hingga tahun 2030 dinilai cukup besar. Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan, RTH publik saat ini 9,4 persen dari total luas Jakarta. ”Jumlah total nantinya bisa 15 persen. Kalau ditambah dengan RTH publik sebesar 5 persen atau 10 persen, jumlahnya bisa bertambah menjadi 25 persen,” ujarnya.

Untuk mencapai target itu, menurut Yayat, Pemprov DKI harus bekerja keras. Pasalnya, lahan yang ada sudah mahal dan tingkat kepadatan Jakarta sudah tinggi. ”Apabila angka itu memang sudah maksimal, artinya sudah saatnya Jakarta mulai memperbanyak pembangunan permukiman secara vertikal. Ini adalah salah satu cara untuk menambah RTH,” kata Yayat.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui, RTH Jakarta yang ada saat ini masih sangat sedikit. Sebarannya pun tidak merata di seluruh area kota. ”Saya kira memang tidak akan bisa merata antara kawasan yang padat penduduknya dan kawasan yang jarang penduduknya. Di Jakarta Utara, luas RTH tidak akan bisa sama dengan di Jakarta Selatan yang memang dirancang sebagai daerah resapan,” ujar Basuki.

Pemprov DKI berupaya menambah jumlah pepohonan yang ditanam sebagai alternatif RTH. Caranya antara lain menanam pohon di tengah trotoar dan mengganti pohon yang ditebang dengan jumlah 10 kali lipat di wilayah lain, seperti di Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio.

Belum lengkap

Bukan hanya tabrakan dengan aturan lain, Perda RDTR masih belum lengkap. Perda ini memerlukan aturan teknis mengantisipasi persoalan yang muncul di lapangan. Salah satunya pembentukan Komite Pertimbangan Penataan Ruang.

”Komite ini untuk mengantisipasi konflik yang terjadi. Sebab, banyak pihak yang menjadi obyek perda, bukan hanya perorangan, melainkan juga badan usaha dan pemerintah sendiri,” kata Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Gamal Sinurat.

Komite Pertimbangan Penataan Ruang dibentuk setelah Perda RDTR dan Peraturan Zonasi ditetapkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Perda tersebut kini masih dievaluasi tim di Kementerian Dalam Negeri.

Terkait tumpang tindih aturan itu, sosiolog Universitas Pancasila, Aully Gransanti, menilai, hal ini menandakan belum ada kepastian hukum yang bisa menjadi pegangan masyarakat. (CHE/FRO/NDY/KOMPAS CETAK)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×