Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat utang dunia, Standard & Poor's (S&P) kembali menyentil Indonesia. Kali ini, S&P menyoroti beban utang dan keuangan sejumlah perusahaan konstruksi plat merah (BUMN konstruksi).
Apakah ini gelagat S&P akan memangkas rating utang perusahaan konstruksi milik negara, bahkan rating utang Indonesia? Entahlah. Yang terang, S&P mengkhawatirkan posisi neraca keuangan BUMN konstruksi seiring meningkatnya utang perusahaan plat merah.
Analis S&P Xavier Jean mencatat, utang dari empat perusahaan konstruksi besar milik negara naik 57% menjadi sekitar US$ 11,3 miliar atau setara Rp 156,2 triliun pada tahun lalu. Kenaikan utang ini bak alarm bahwa utang untuk mendanai proyek infrastruktur mulai overdosis.
Apalagi di saat bersamaan, rasio utang terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) pada 20 BUMN konstruksi telah meningkat 5 kali. Angka tersebut melonjak dibandingkan posisi pada tahun 2011 yang hanya 1 kali terhadap EBITDA.
Itu artinya, kemampuan laba perusahaan untuk membayar kewajiban utang semakin tergerus. "Ini adalah tren yang kami lihat secara serius, karena kami pikir itu akan bertahan, dan akan difokuskan pada 2018 dan menjelang pemilihan 2019," jelas Xavier saat memaparkan presentasinya dalam web broadcast Asia-Pacific Sector Insights: A Look Into The Corporate & Infrastructure Sector For Indonesia, Kamis (22/3).
Jumlah utang yang harus ditanggung perusahaan BUMN akan semakin besar. Pemerintah memperkirakan total investasi infrastruktur yang dibutuhkan dari 2014 hingga 2019 mencapai sebesar US$ 450 miliar. Untuk memenuhi pembiayaan proyek infrastruktur tersebut, BUMN harus meminjam untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Sementara proyek tersebut sering tertunda atau membutuhkan waktu untuk menghasilkan pendapatan.
Kondisi semakin tidak menguntungkan, sebab proyek infrastruktur banyak tersebar di daerah-daerah berpenduduk sedikit. Ini semakin menambah kekhawatiran terkait minimnya pendapatan pada periode mendatang. "Tidak terlalu jelas bagi kami dengan investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini di luar Jawa, di luar pusat yang padat penduduk, apakah akan menjadi proyek yang menguntungkan atau tidak," jelas Xavier.
Pengaruh pada rating
Tapi, Direktur Keuangan PT Adhi Karya Tbk Harris Gunawan, menilai, kenaikan utang BUMN konstruksi, khususnya ADHI tak perlu dikhawatirkan. Dia mengklaim pengelolaan utang berlangsung baik dan risikonya terukur. "Pencairan dana di proyek LRT mulai diselesaikan. Termin LRT cukup untuk melunasi utang kami," jelasnya.
Harris mengatakan, sebelumnya ADHI memang sudah mempersiapkan beberapa roadmap untuk menambah ekuitas perusahaan, apabila pembayaran LRT tersendat. Salah satunya dengan melepas sebagian saham anak usahanya yakni PT Adhi Persada Gedung. ADHI juga sudah mempersiapkan jalan pembayaran lewat perpetual bond.
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menambahkan, pemburukan neraca keuangan perusahaan BUMN bisa berdampak panjang. "Kondisi neraca BUMN konstruksi ini bisa mempengaruhi penilaian rating kredit Indonesia oleh S&P," jelas Eric.
Ada pula beberapa dampak lainnya. Pertama, penurunan harga saham di bursa. Kedua, bisa mengurangi kemampuan memperoleh pinjaman baru dan kreditur bisa menaikkan risk premium sehingga bisa menaikkan bunga pinjaman.
Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist Bank Mandiri Tbk Dendi Ramdani menilai, S&P sebatas menyoroti posisi neraca BUMN konstruksi. Dia berkeyakinan sentilan S&P itu bukan pertanda rating utang Indonesia akan dipangkas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News