Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pelambatan ekonomi telah menekan penerimaan negara. Tak hanya dari pajak, setoran bea dan cukai pun gagal mencapai target. Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, penerimaan bea cukai hingga 30 April 2015 sebesar Rp 45,97 triliun, ini setara 68,56% dari target yang dipasang untuk periode ini, yakni Rp 67,03 triliun.
Kegagalan pencapaian target terjadi di semua pos. Sektor cukai hanya menyumbang Rp 34,89 triliun. Padahal, targetnya selama periode ini Rp 50,09 triliun. Artinya, realisasi penerimaan hanya 69,95%.
Bea keluar hanya berkontribusi Rp 1,01 triliun, meleset jauh dari target Rp 4,14 triliun. Begitu juga bea masuk yang hanya menyetor Rp 10,06 triliun. Ini hanya 78,71% dari target Rp 12,78 triliun.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai Kemkeu Heru Pambudi menuturkan, ada banyak faktor yang menyebabkan realisasi penerimaan bea cukai gagal mencapai target. Ekonomi sepanjang triwulan I-2015 yang hanya tumbuh 4,71%, ia sebut sebagai alasan utama.
Pelambatan ekonomi, antara lain terjadi karena konsumsi rumah tangga melemah. Hal ini diperkirakan juga menurunkan daya beli terhadap produk tembakau. Padahal, cukai dari tembakau merupakan penyumbang utama penerimaan cukai, sekitar 97%. Sayangnya, Ditjen Bea Cukai tak memiliki data rinci penerimaan cukai tembakau.
Setoran cukai minuman mengandung alkohol juga tertekan. Sekadar gambaran saja, hingga akhir Maret lalu, dari realisasi penerimaan bea dan cukai yang sebesar Rp 31,78 triliun, penerimaan cukai minuman beralkohol hanya Rp 807,12 miliar.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol ikut menekan setoran cukai.
Kebijakan ini melarang penjualan minuman berkadar alkohol di bawah 5% (golongan A) antara lain jenis bir, di minimarket. Penjualan hanya boleh dilakukan di supermarket atau hipermarket dan harus dikonsumsi di lokasi.
"Memang pengaruhnya signifikan. Tetapi detail datanya harus saya cek," kata Heru, akhir pekan lalu.
Kegiatan ekspor-impor yang masih dalam tren melemah juga menurunkan setoran cukai. Penerimaan bea masuk dan bea keluar gagal mencapai target karena aktivitas ekspor-impor melambat.
Namun, Ditjen Bea Cukai masih yakin target penerimaan bisa tercapai. "Kenaikan baru akan dirasakan setelah Lebaran nanti, khususnya untuk cukai dan bea masuk. Mudah-mudahan bisa menutup kekurangan di awal-awal ini," tambah Heru.
Ekonom Institut for Development for Economics dan Finance (INDEF) Enny Sri Hartaty menilai, kebijakan pembatasan penjualan minuman beralkohol bukanlah penyebab utama penerimaan cukai di bawah target. Sebab, menurut dia, cukai dari minuman alkohol selama ini hanya menyumbang 5% dari total penerimaan cukai.
Menurut Enny, rendahnya penerimaan cukai, mengindikasikan semakin maraknya peredaran rokok yang tak membayar cukai. Pasalnya, kondisi ekonomi yang buruk menurunkan daya beli masyarakat. Di sisi lain, tarif cukai saat ini sangat tinggi.
Untuk itu, pemerintah harus menerapkan law enforcement terhadap penjualan barang kena cukai yang ilegal, khususnya rokok, sebagai penyumbang 95% penerimaan cukai. Ia juga menyarankan pemerintah memperbaiki sistem jenjang tarif cukai rokok untuk menutup celah penyalahgunaan tarif cukai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News