Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melansir, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.866,45 triliun per akhir September 2017. Angka ini bertambah Rp 40 triliun dibandingkan posisi akhir Agustus 2017, yaitu Rp 3.825,79 triliun.
Dengan adanya tambahan pembiayaan utang tersebut, belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial dapat ditingkatkan.
DJPPR melansir, untuk bulan September 2017, indikator risiko utang terpantau masih terkendali.
Porsi utang dengan tingkat bunga mengambang terhadap total utang (rasio variable rate) sebesar 10,8%. Sedangkan proporsi utang yang akan jatuh tempo atau bunganya disesuaikan dalam waktu satu tahun, terhadap total utang (rasio refixing rate) di level 19,8%.
Porsi utang dalam mata uang asing berada pada level 40,9%, sedangkan rata-rata tertimbang jatuh tempo utang secara keseluruhan atau average time to maturity (ATM) berada pada level 9,0 tahun.
Di lain sisi, indikator jatuh tempo utang dengan tenor hingga 5 tahun naik dari 39,2% menjadi 39,7% dari total outstanding utang.
“Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan risiko utang dengan hati-hati dan terukur, termasuk pula terjaganya risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat bunga, dan risiko nilai tukar dalam posisi yang terkendali selama bulan September ini,” mengutip DJPPR, Kamis (19/10).
Utang Pemerintah Pusat berjumlah Rp 3.866,45 triliun itu terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 2.591,55 triliun atau 67,0%, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 536,91 triliun atau 13,9%, dan pinjaman sebesar Rp 737,99 triliun atau 19,1%. Utang tersebut didominasi oleh utang dalam mata uang Rupiah sebesar 59%.
Sementara, porsi utang dalam mata uang asing, yakni dollar AS sebesar 29%, yen Jepang 6%, euro 4%, Special Drawing Right (SDR) 1%, dan beberapa valuta asing lain 1%.
Utang Pemerintah Pusat berdasarkan krediturnya didominasi oleh investor SBN sebesar 81%, kemudian pinjaman dari Bank Dunia 6%, Jepang 5%, ADB 3%, dan lembaga lainnya 5%.
Tujuan dari utang tersebut ialah salah satunya memenuhi kebutuhan pembiayaan, termasuk pembiayaan kembali utang jatuh tempo. Selain itu, pemerintah juga ingin mendukung pengembangan pasar SBN domestik untuk mendukung terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid yang berdampak pada peningkatan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang.
“Pemerintah mengupayakan peningkatan efisiensi biaya utang dalam jangka panjang untuk mendukung kesinambungan fiskal,” tulis DJPPR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News