Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Kementerian Pertanian (Kemtan) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membahas revisi Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Revisi beleid yang merupakan inisiatif DPR ini penting menyusul perkembangan di lapangan dan kekosongan hukum, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan.
Mukti Sardjono, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kemtan mengatakan, keluarnya putusan MK tersebut menunjukkan masih ada bolong-bolong di beleid perkebunan yang harus diperjelas. "Itu sebabnya revisi UU Perkebunan sudah mendesak," ujarnya kemarin.
Asal tahu saja, 19 September lalu, MK mengeluarkan putusan dengan perkara Nomor 55/PUU-VIII/2010 yang intinya mencabut pasal di UU Perkebunan itu. MK menilai, pasal itu memicu konflik pertanahan antara rakyat dengan perusahaan perkebunan dan berpotensi mempidanakan petani.
Mukti bilang, akibat kekosongan pasal sanksi ini, pelaku perusakan atau pencurian aset perkebunan hanya bisa dijerat pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Di sisi lain, tingkat gangguan usaha dan konflik perkebunan masih tinggi.
Tahun lalu saja, tercatat 822 kasus terdiri dari 625 sengketa lahan dan 197 kasus sengketa non-lahan. "Namun penyelesaian dari kasus tersebut tidak bisa tuntas," ujar Mukti.
Selain butuh aturan lebih tegas untuk mengantisipasi gangguan usaha dan konflik perkebunan, pemerintah mengusulkan beberapa poin tambahan dalam revisi UU Perkebunan.
Pertama, soal pembatasan kepemilikan luas lahan perkebunan oleh perusahaan. Kedua, kewajiban pengembangan industri hilir perkebunan. Ketiga, pengaturan kembali tentang kepemilikan perkebunan oleh investor asing. "Kepemilikan mayoritas saham asing dalam usaha perkebunan telah melanggar pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan setiap sumber daya alam harus dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat," ujar Mukti.
M. Romahurmuziy, Ketua Komisi IV DPR menyebutkan, revisi UU Perkebunan sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas 2013). "Mulai dibahas sekitar April tahun depan," katanya.
Selain soal sanksi, menurut dia, dalam UU Perkebunan yang baru nanti juga bakal mengatur luas maksimum lahan usaha perkebunan. Selain itu, perlu ada penambahan aturan soal pencegahan cara-cara pemerasan lahan, perlindungan golongan yang lemah dan monopoli swasta.
"Komisi IV DPR mendukung pembatasan luas maksimum sebesar 100.000 hektare untuk menghindarkan praktik monopoli," tandasnya.
Sementara itu, Joefly J. Bahroeny Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai, ketimbang mengubah UU Perkebunan, revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, semestinya yang menjadi fokus utama. Beleid teknis itu lebih dibutuhkan sekarang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News