Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5% dibutuhkan upaya ekstra. Salah satunya dari segi tenaga kerja yang dinilai minim keterampilan. Namun di sisi lain, upah tenaga kerja di Indonesia dinilai sudah lebih mahal dibanding negara-negara lain di kawasan.
Bila persoalan ini tidak dibenahi, maka sulit bagi pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisa jadi terjebak dengan status negara berpendapatan menengah (middle-income trap) dan kehilangan momentum bonus demografi. Maka dibutuhkan tenaga kerja yang produktif dan terampil.
Tantangan ini tak hanya tertuju pada pemerintah, tetapi juga pada industri dan pelaku usaha. Di tengah lesunya produksi dan permintaan secara global, dunia usaha mesti mempertahankan aktivitas dan ekspansinya dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan, salah satu tantangan dunia usaha terkait dengan produktivitas tenaga kerja. Hal ini berhubungan juga dengan besaran biaya produksi, yang terkait dengan upah.
Produktivitas tenaga kerja juga menjadi salah satu penghambat daya saing Indonesia dengan negara-negara lain. Lantas, aliran investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI) mengarah pada negara-negara tetangga seperti Vietnam, ketimbang Indonesia. Padahal, untuk memacu pertumbuhan ekonomi ke level 6% hingga 7% di tahun-tahun mendatang, investasi merupakan unsur penting.
"Jam kerja pekerja Indonesia termasuk yang paling rendah kalau dibandingkan dengan Bangladesh 49 jam, China 47 jam, Kamboja 45 jam, dan Vietnam 41 jam. Sementara, dari segi upah, Indonesia termasuk paling tinggi," terang Shinta, Rabu (10/4).
Soal tingkat upah, Pengamat Ekonomi dari Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko memberi gambaran. Di sektor manufaktur, kenaikan gaji di Indonesia tahun ini diproyeksi mencapai 8,2%, sedangkan di Vietnam hanya 7,4%.
Agustinus menyebut, rata-rata gaji pekerja sektor manufaktur di Indonesia mencapai US$ 5.027 per tahun, sementara di Vietnam hanya sekitar US$ 3.800 per tahun. "Artinya biaya produksi dan tenaga kerja di Vietnam jauh lebih murah. Sementara di Indonesia biaya tinggi, tapi apakah sejalan dengan kualitasnya?," tutur dia.
Tanpa ekspansi dunia usaha yang stabil, Agustinus mengatakan, akan sulit bagi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi dari saat ini. Oleh karena itu, pemerintah mesti membenahi isu-isu yang menghambat laju ekspansi bisnis dan industri di Indonesia.
"Upah tenaga kerja mesti menjadi variabel yang benar-benar dikalkulasi dengan baik, bukan sekadar menjadi alat political bargain bagi pemerintah. Ini penting untuk menjadi sumber kepastian bagi dunia usaha," lanjut Agustinus.
Isu produktivitas tenaga kerja bukanlah hal sepele, sebab erat kaitannya dengan daya tarik investasi Indonesia. Pertumbuhan investasi kemudian berpengaruh terhadap potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Agustinus mengambil contoh seperti Jepang, salah satu negara investor yang mulai menyoroti isu tenaga kerja di Indonesia sebagai pertimbangannya berinvestasi. Dalam survei terbaru Japan External Trade Organization (JETRO), 78% dari responden menyoroti besarnya biaya tenaga kerja di Indonesia dan 54% mempersoalkan kualitas tenaga kerja Indonesia.
"Survei ini mengindikasikan bahwa Indonesia bukan lagi menjadi destinasi investasi yang menarik, setidaknya bagi pengusaha Jepang. Ini peringatan untuk kita berbenah," kata Agustinus.
Selain upah, daya saing tenaga kerja Indonesia juga masih rendah akibat kompetensi dan keterampilan yang kurang memadai. Hal ini tergambar dari proporsi tenaga kerja lulusan sekolah dasar (SD) yang masih sangat tinggi di Indonesia yang menyebabkan hampir separuh angkatan kerja tergolong kurang literasi (illiterate).
"Sementara tenaga kerja yang tergolong illiterate di Vietnam hanya sekitar 10%. Jadi, masalah keterampilan ini penting," kata Shinta.
Oleh karena itu, pelaku usaha menyambut baik rencana pemerintah menggandeng industri untuk mengembangkan pendidikan vokasi. Sebab, program nasional tersebut krusial untuk meningkatkan daya serap tenaga kerja ke industri sesuai kebutuhan alias link and match yang selama ini tidak terpenuhi karena kurangnya kompetensi tenaga kerja Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News