CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.889   -29,00   -0,18%
  • IDX 7.190   -24,22   -0,34%
  • KOMPAS100 1.099   -3,81   -0,35%
  • LQ45 875   -0,78   -0,09%
  • ISSI 217   -1,36   -0,62%
  • IDX30 448   -0,17   -0,04%
  • IDXHIDIV20 541   1,12   0,21%
  • IDX80 126   -0,45   -0,35%
  • IDXV30 136   0,30   0,22%
  • IDXQ30 149   0,04   0,03%

Presiden Jokowi tetapkan Perpres Nilai Emisi Karbon demi tekan emisi karbon


Selasa, 02 November 2021 / 11:11 WIB
Presiden Jokowi tetapkan Perpres Nilai Emisi Karbon demi tekan emisi karbon
ILUSTRASI. Presiden Joko Widodo menyampaikan Komitmen Indonesia dalam Penanganan Perubahan Iklim di COP26, di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin, 1 November 2021.


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Ini disampaikan Presiden Joko Widodo Jokowi dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, United Kingdom.

Pengesahan ini juga menjadi komitmen Indonesia menjadi penggerak pertama (first mover) penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya (2/11) menjelaskan, penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030 serta Net Zero Emission 2060. 

Febrio menyebut, instrumen NEK bisa menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak sekaligus menjadi momentum first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi berkelanjutan.

Kata Febrio, perubahan iklim menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama.Apalagi, pada tahun 2016,  Pemerintah Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). 

Komitmen ini kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020 – 2024 serta menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional. 

Dari dokumen yang sama terungkap bahwa Indonesia menetapkan ambisi cukup tinggi sebagai negara berkembang yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri serta 41% dengan dukungan internasional pada 2030. 

Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

"Pada dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal,” kata Febrio dalam keterangan tertulis, Selasa (2/11).

Dokumen tersebut juga menetapkan adanya perhatian Indonesia pada aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu target strategis nasional, adanya komando dan kendali (command and control), serta adanya upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar atau market-based instruments (MBI). 

Kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing.

Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. 

Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP).

Untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah juga  telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal termasuk pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF).

Kebijakan terbaru adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). 

Kata Febrio, UU ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×