Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketukan palu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok yang memutuskan aset-aset PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) dirampas menjadi milik negara memperpanjang daftar kasus perampasan aset oleh negara pada kasus penipuan dan pencucian uang. Akibat putusan ini, nasib korban penipuan menjadi tidak jelas.
Sebelumnya, putusan yang sama juga ketok palu dalam perkara kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Mandiri Pandawa Grup. Aset-aset Pandawa dan sang bos koperasi Nuryanto dirampas negara. Perampasan aset ini menimbulkan persoalan baru.
Soalnya, putusan ini menghambat proses perdata niaga yang tengah berjalan, baik First Travel maupun Koperasi Pandawa. Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) First Travel baru rampung yang berujung pada perdamaian (homologasi). Sementara, Koperasi Pandawa kini tengah menjalani proses kepailitan. Keduanya adalah proses perdata niaga.
Sexio Noor Sidqi, salah satu pengurus PKPU First Travel, mengatakan, harus ada sinkronisasi atas dua jenis perkara ini. "Perlu dicari titik temu kalau memang ketentuan hukum acara atau material belum ketemu. Perlu ada pembicaraan, setidaknya para stakeholder, penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, kurator, pengadilan, Kementerian Hukum dan HAM," katanya kepada KONTAN pekan lalu.
Sinkronisasi mendesak
Tanpa ada koordinasi, Sexio menegaskan, para kreditur tidak akan menerima apa pun. Menurutnya, sinkronisasi atas dua perkara tersebut mendesak lantaran dasar perampasan aset kerap menggunakan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Sebetulnya, Sexio bilang, pidana pencucian uang banyak terjadi di kasus korupsi. Tapi ternyata, ada juga di perkara investasi seperti pengumpulan dana masyarakat. "Sebenarnya, tidak ada kerugian yang diderita negara. Jadi, jika aset dirampas yang paling rugi kreditur," tegasnya.
Perampasan aset First Travel berasal dari sekitar 820 barang bukti yang dikumpulkan penyidik. Sementara yang dirampas ada sekitar 529 barang bukti, misalnya, rumah mewah, apartemen, kantor, mobil, gaun mewah, dan rekening bank. Nilainya ditaksir total Rp 25 miliar. Sementara secara total, dalam proses PKPU ada 63.000 jemaah yang terdaftar dengan nilai tagihan mencapai Rp 1,1 triliun.
Masalah lebih pelik justru terjadi dalam kasus Koperasi Pandawa. Sebab, perampasan aset justru bertentangan dengan proses kepailitan yang tengah bergulir. UU Kepailitan dan PKPU memerintahkan, kurator lah yang berhak membereskan aset-aset.
Muhammad Denni, salah satu kurator Koperasi Pandawa, menyebutkan, baru ada tujuh aset berupa bangunan dan lahan yang diamankan tim kurator, di luar yang disita negara. "Nilainya sangat jauh dengan tagihan Pandawa Rp 3,3 triliun," keluhnya.
Kurator kepailitan Koperasi Pandawa pun melayangkan gugatan agar aset bisa mereka bereskan. Tapi, Kejaksaan Negeri Depok menyatakan, aset-aset yang disita tak bisa ditetapkan sebagai budel pailit. Kejaksaan menilai, gugatan itu tak pada tempatnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News