kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pengalihan pungutan PBB di daerah terkendala perda


Sabtu, 09 Februari 2013 / 07:21 WIB
Pengalihan pungutan PBB di daerah terkendala perda
ILUSTRASI. Hasil Liga Italia Atalanta vs AC Milan: Rossoneri bungkam La Dea 2-3


Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Jumlah daerah yang memungut pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB-P2) sebagai pajak daerah terus bertambah. Tahun ini, sebanyak 105 kabupaten dan kota telah menyatakan siap menarik pajak yang sebelumnya ditangani pemerintah pusat itu.

Sebelumnya, ada 18 daerah yang sudah mengimplementasikan Undang-Undang (UU) No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah PDRD), yang secara resmi berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menargetkan pemasukan dari PBB-P2 tahun 2013 ini sebesar Rp 6,5 triliun.

Perinciannya, kontribusi dari 105 daerah yang mulai memungut PBB-P2 tahun ini sebesar Rp 4,5 triliun, sisanya senilai Rp 2 triliun dari 18 kabupaten dan kota yang sudah menarik PBB-P2 sejak tahun 2010-2011.

Namun, sebenarnya masih ada 369 dari 492 kabupaten/kota se-Indonesia yang belum bisa menjalankan tahapan persiapan pengalihan PBB-P2 sebagai pajak daerah. Padahal, sesuai Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 213 dan 58/2010, paling telah tahun depan, semua daerah harus sudah memungut sendiri.

Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak, Hartoyo, menyebutkan kendala daerah yang tidak siap menerima pengalihan pajak ini adalah belum ada payung hukum yang mengatur, yakni berupa peraturan daerah (perda). "Masih ada 175 kabupaten dan kota yang belum memiliki perda PBB-P2, karena masih dalam pembahasan dengan DPRD," katanya, Jumat (8/2).

Sedangkan, 194 kabupaten dan kota lainnya sudah memiliki perda itu, tapi belum siap juga karena persoalan infrastruktur. Akibatnya, jika sampai akhir tahun ini pembahasan perda tersebut tidak selesai juga, daerah tersebut tidak bisa menarik PBB-P2.
Hartoyo memperkirakan, sampai tahun depan, masih terdapat 36 daerah yang belum menyelesaikan pembuatan perda pajak ini. Padahal, mulai tahun 2014, Ditjen Pajak tidak akan menangani PBB-P2 lagi, lantaran sesuai undang-undang, semuanya harus diserahkan kepada daerah.

Pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Boko menilai, banyak daerah yang belum memiliki perda PBB-P2 lantaran mereka tidak siap melakukan penagihan pajak. "Apalagi, dalam penagihan pajak ini, diperlukan biaya-biaya tambahan," katanya, seperti sistem dan petugas. Tak cuma itu, kendala lainnya adalah pembagian upah pungut yang masih membingungkan.

Sebab itu, Ronny bilang, harus ada ketegasan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apakah biaya pungut bisa mengurangi penerimaan PBB-P2 daerah.
Catatan saja, pada tahun 2011, baru Surabaya yang berani melakukan penarikan PBB-P2. Lalu, di tahun 2012, ada 17 kabupaten/kota yang mulai mengambil PBB-P2, antara lain Medan, Pekanbaru, Palembang, Depok, Bogor, Sukoharjo, Sidoarjo, Gresik, kota Jogjakarta, Palu, Gorontalo, Samarinda, Balikpapan, dan Pontianak.

Hartoyo juga mengungkapkan, DKI Jakarta merupakan salah-satu dari 105 kabupaten dan kota yang mulai melaksanakan penarikan PBB-P2 tahun ini. Hanya, DKI Jakarta bakal menerapkan perhitungan yang berbeda untuk PBB-P2. "Artinya, dalam mengenakan pajak bangunan, Jakarta menerapkan cara perhitungan berbeda dari yang selama ini diterapkan Ditjen Pajak," ungkap Hartoyo.

Selama ini, hitungan pajak yang dipakai adalah 0,2% dari nilai bangunan di bawah Rp 1 miliar. Tapi, untuk bangunan di Ibukota yang nilainya di bawah Rp 200 juta, dikenakan pajak 0,01%. Kemudian, nilai bangunan antara Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar pajaknya sebesar 0,1%, Rp 1 miliar sampai Rp 10 miliar 0,2, dan lebih dari Rp 10 miliar kena 0,25%.
Model perhitungan seperti ini bagus. "Sebab, bangunan kecil akan membayar pajaknya juga lebih sedikit. Sedangkan, bangunan besar tentu akan lebih besar lagi nilai pajaknya," jelas Hartoyo. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×