Reporter: Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, PT Woyla Raya Abadi terpaksa harus gigit jari. Gugatan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, perdagangan umum dan kehutanan ini Herry Laksmono dan PT Samba Indah Utama kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim menilai pihak Woyla Raya tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya.
Ketua Majelis hakim Gosen Butar Butar mengatakan Woyla tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan sosialisasi penebangan kayu kepada masyarakat sekitar. Akibatnya, tergugat yakni Herry tidak dapat bekerja maksimal dan memenuhi batas waktu yang sudah disepakati lantaran mengalami gangguan dari masyarakat sekitar. "Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya," ujarnya, Selasa (10/6).
Sementara majelis hakim mengabulkan gugatan rekonvensi Herry untuk sebagian yakni Woyla telah lalai melakukan kewajibannya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang proyek penebangan hutan kayu. Tapi majelis hakim menolak klaim kerugian Herry, termasuk biaya pengacara lantaran dan kerugian immateril dengan total Rp 103,8 miliar. Pasalnya, menurut majelis Herry masih ingin melanjutkan perjanjian kerjasama yang telah dibuat bersama Woyla. Sementara uang ganti rugi yang diklaim Herry sebesar pengacara merupakan tanggungan pribadi,
Terkait putusan tersebutn kuasa hukum Woyla Yuris Darmawan mengatakan pihaknya kemungkinan akan banding. Ia menolak mengomentari terlalu jauh pertimbangan majelis hakim. "Kemungkinan kami akan banding," ujarnya usai persidangan. Sementara itu, kuasa hukum Herry, Djamaluddin mengaku senang atas putusan tersebut. Meskipun tidak dikabulkan seluruh gugatan rekovensinya, tapi poin penting dalam gugatan baliknya sudah dikabulkan majelis hakim. "Tapi kalau mereka banding, itu hak mereka, kami tetap siap menghadapi," ujarnya.
Kasus ini bermula ketika Puteh melalui perusahaannya Woyla memberikan hak kepada Herry Laksmono untuk melakukan penebangan dan pengelolaan serta penjualan kayu pada lahan milik Woyla, dan hak atas hasil yang diperoleh. Dari hasil penjualan kayu tersebut, Herry Laksmono diwajibkan memberikan royalti kepada Woyla setiap bulan. Kemudian Herry Laksmono menunjuk Samba Indah sebagai pelaksana penebangan kayu tersebut.
Dalam kerjasama itu, Woyla memberikan syarat kepada Herry Laksmono untuk menebang kayu berdiameter 20 sentimeter (cm) ke atas. Namun dengan ketentuan, kayu berdiameter di bawah 20 cm menjadi milik Woyla dan berkewajiban mengurus dan melengkapi dokumen yang diperlukan oleh Herry Laksmono. Namun dalam realisasinya, Woyala menilai Herry tidak memenuhi target volume kayu dari hasil sesuai dengan RKH (Rencana Kerja Tahunan). Woyla menuding Herry Laksmono tidak melakukan penebangan kayus sesuai blok yang sudah ditentukan, melainkan penebangan secara acak dan kelompok dari satu blok ke blok lain.
Selain itu, Herry juga dituding tidak melakukan sistem tebang habis, tapi tebang pilih. Menurut Henry, pihak Herry Laksmono tidak memenuhi target volumen kayu sesuai RKT tahun 2012 sejumlah 85.312,43 meter kubik tapi cuman sebanyak 18.000 meter kubik. "Maka tergugat telah lalai melaksanakan kewajiban," tegas Henry. Karena alasan tersebut, Woyla menuntut pembatalan perjanjian dan tidak menuntut nilai kerugian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News