kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penerapan sekolah lima hari sebaiknya bertahap


Rabu, 14 Juni 2017 / 22:54 WIB
Penerapan sekolah lima hari sebaiknya bertahap


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Secara substantif kebijakan sekolah delapan jam per hari selama lima hari dalam seminggu yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy itu baik. Hal itu juga diterapkan oleh negara-negara yang menjadi kiblat pendidikan dunia, dimana mereka menerapkan sekolah lima hari.

Di sekolah, untuk anak Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diberi peluang berimprovisasi dan mata pelajaran serta proses belajar tidak ketat dan membuat anak didik senang.

Jadi menurut Pemerhati Pendidikan Proffesor Edy Suandi Hamid, pemerintah bisa mengarahkan ke pendidikan lima hari sekolah tersebut, seperti kita juga sebagian besar sudah lima hari kerja ataupun kuliah.

Hanya saja, mantan Ketua Forum Rektor Indonesia itu memberikan catatan, yakni penerapannya sebaiknya melalui pilot project atau tahap pertama diterapkan ke sekolah-sekolah yang sudah siap, tidak tiba-tiba dan menyeluruh.

"Diterapkan ke sekolah yang sudah siap, jangan tiba-tiba dan menyeluruh penerapannya di seluruh sekolah di tanah air," ujar Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) selama 2 periode 2006-2010 dan 2010-2014 ini kepada Tribunnews.com, Rabu (14/6).

Menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) 2011-2015, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan harus melihat Indonesia ini sangat besar. Sekolah juga banyak sekali dan beragam. Itu harus diperhatikan.

"Tidak mudah bagi semuanya untuk waktu yang singkat mengakomodasi kebijakan yang cukup fundamental perubahannya," kata mantan Rektor Universitas Trisaksi ini kepada Tribunnews.com.

Karena itu bisa dilakukan bertahap dengan melihat kesiapan sekolah, pemerintah daerah dan masyarakatnya. Dengan keragaman itu bisa jadi nanti ada yang tidak bisa menyesuaikan terhadap kebijakan itu. Sekolah-sekolah agama model pesantren, nah ini harus diakomodasi.

Misalnya tetap diperbolehkan namun jam proses belajar mengajar minimal harus terpenuhi. Karena itu seluruh aspek imbuhnya, harus dikaji dan dilihat kesiapannya secara menyeluruh. "Kalau serba tergesa gesa akan menimmbulkan masalah dan dampaknya tidak optimal," katanya.

Soal pro dan kontra terhadap suatu kebijakan merupakan hal biasa atas suatu kebijakan. Oleh karena itu, tim Mendikbud harus mendengarkan dan menganalisis berbagai kritik itu. "Kritik yang konstruktif harus diakomodasi dan menjadi masukan," ujarnya.

Penjelasan Mendikbud

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai menerapkan program 'Full Day School'. Dalam sistem baru tersebut murid-murid mendapat waktu delapan jam belajar untuk lima hari satu minggu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mudjahir Effendy menjelaskan para siswa yang sekolahnya menerapkan 'Full Day School' bisa belajar di luar lingkungan sekolah. "Saya tegaskan delapan jam itu tidak berarti anak ada di kelas. Tapi di lingkungan sekolah. Bahkan di luar sekolah," ujar Mudjahir di gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (13/6).

Pelaksanaan 'Full Day School' sudah diterapkan di 1.500 sekolah pada tahap pertama sejak Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2017 tentang revisi beban kerja guru dan Program Pengembangan Karakter (PPK) dikeluarkan.

"Sejak digulirkan tentang PPK , saya dipanggil Presiden untuk minta dibuakan piloting, diuji coba dulu. Kemudian waktu itu pilih 1500 sekolah," ujar Mudjahir.

Mudjahir menambahkan program tersebut secara tidak langsung sudah diminati beberapa sekolah di daerah. Bahkan ada pemerintah daerah yang melakukan adopsi program secara sukarela. "Ada 9 kabupaten kota yang mengadopsi program PPK ini," kata Mudjahir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×