Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan pesat aset kripto dalam waktu terakhir turut menarik perhatian pemerintah. Pemerintah sudah mulai membahas pemberlakuan pajak terhadap transaksi mata uang digital ini.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan, karena aset kripto merupakan barang baru di Indonesia, pihaknya akan mendalami lebih lanjut jenis pajak apa yang akan diterapkan. Sejauh ini, Suryo menyebut kripto bisa dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) apabila kripto dianggap sebagai mata uang atau alat tukar atas barang/jasa.
Namun, kripto bisa dikenakan pajak penghasilan (PPh) dari sudut pandang investasi. Sebab, aset kripto diperdagangkan seperti investasi di pasar saham. Sehingga PPh akan ditarik atas capital gain. "Kami betul-betul baru sepotong model yang kami diskusikan dan bagaimana pemajakan sama dengan penerimaan penghasilan yang bersangkutan," kata Suryo.
Partner di Bullwhales Mario Bernardi menjelaskan, aset kripto tidak tepat jika dikategorikan sebagai barang jasa karena bisa didapat melalui transaksi di bursa kripto. Dus, tidak tepat bila pajak yang dikenakan menggunakan pajak pertambahan nilai.
Baca Juga: Yuk! Cermati tips investasi aset kripto dari Analis Ekonomi dan Keuangan BNI
“Aset kripto sebagai terobosan baru di landscape finansial global lebih tepat dikategorikan sebagai kelas aset. Sehingga lebih tepat aset-aset kripto diberikan perlakuan serupa seperti halnya saham, obligasi, dan kelas aset lainnya,” kata Mario kepada Kontan.co.id, Selasa (11/5).
Lebih lanjut, Mario menyebut, kegiatan usaha yang menghasilkan aset kripto seperti mining pun tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah jasa. Sama halnya seperti penambang emas ataupun komoditas pada umumnya secara global.
Baca Juga: Harga Bitcoin jatuh, terseret saham Tesla yang anjlok
Sementara jika mengacu dari luar negeri, misalnya Singapura dan Amerika Serikat (AS), kedua negara memiliki kemiripan tidak mengenakan pajak pendapatan terhadap aset kripto. Hanya saja, Singapura memiliki kebijakan pajak yang jauh lebih longgar dibanding AS. Pasalnya, Singapura tidak mengenakan pajak atas capital gain, sedangkan AS mengenakan pajak progresif untuk capital gain.
“Artinya, semakin lama sebuah aset dimiliki oleh individu tersebut, pajak atas kenaikan modal akan menurun. Selain itu, tergantung juga dari pendapatan per tahun seorang individu, setiap orang dapat dikenai tarif pajak yang berbeda,” imbuh Mario.
Mario menyimpulkan, pada akhirnya lebih tepat apabila Bitcoin atau aset kripto lainnya dikategorikan seperti halnya saham, obligasi, komoditas maupun aset-aset lainnya. Sehingga sebaiknya memiliki sistem perpajakan yang serupa dengan kelas aset tersebut.
Baca Juga: Kisah cinta Elon Musk dan Dogecoin, berawal dari spam penipu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News