Reporter: Adinda Ade Mustami, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Devaluasi nilai tukar yuan terus menggerus nilai tukar rupiah. Pada Rabu (12/8), data Bloomberg menunjukkan, rupiah ditutup turun 1,4% menjadi 13.788 per dollar Amerika Serikat (AS). Adapun kurs tengah Bank Indonesia (BI), kemarin (12/8), menunjukkan kurs rupiah Rp 13.758 per dollar AS.
Depresiasi rupiah dikhawatirkan bakal merembet ke seluruh sektor ekonomi. Tidak hanya membahayakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, pelemahan rupiah yang terlalu dalam juga akan membebani sektor swasta yang memiliki utang dalam bentuk valuta asing, namun memiliki pendapatan rupiah.
Data BI menunjukkan, per Mei 2015 posisi ULN Indonesia sebesar US$ 302,3 miliar. Jumlah itu terdiri ULN publik (pemerintah dan BI) sebesar US$ 133,5 miliar (44,2% dari total ULN) dan ULN sektor swasta mencapai US$ 168,7 miliar (55,8% dari total ULN).
Kekhawatiran makin besar karena aturan lindung nilai (hedging) BI belum efektif. Hingga saat ini, baru sekitar 17%-20% perusahaan pemilik utang valas yang melakukan hedging. Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan, kekhawatiran, ULN swasta mulai menghawatirkan setelah rupiah di atas Rp 13.500 per dollar AS.
"Kemampuan bayar utang Indonesia makin melemah," kata David, pekan lalu ke KONTAN.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo sendiri mengakui, pelemahan rupiah pada akhir-akhir ini telah terlalu dalam (overshoot). "Ini telah berada jauh di bawah nilai fundamentalnya (undervalued)," kata Agus, Selasa (12/8).
Untuk itu BI telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah. Bank Indonesia juga akan mengoptimalkan bauran kebijakan dan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas lain.
APBN masih aman
Lalu apakah pelemahan rupiah berpengaruh besar ke APBN? Kepala Ekonom BII Juniman bilang, tekanan rupiah ke anggaran tidak akan terlalu besar karena subsidi BBM telah dipangkas, sehingga menyelamatkan anggaran negara. Namun pelemahan rupiah akan berdampak pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena harga minyak dan komoditas turun.
"Inilah yang dikhawatirkan, apakah cukup untuk kompensasi peningkatan pembayaran utang," katanya.
Risiko lain yang perlu diwaspadai adalah dampak tidak langsung pelemahan rupiah. Harga barang impor yang terkait belanja modal akan meningkat. Padahal belanja modal ini penting untuk membangun infrastruktur, sehingga berpotensi menunda rencana pembangunan proyek infrastruktur.
Namun Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara yakin tidak ada proyek strategis di APBN yang tertunda lantaran rupiah. "Saya rasa semua masih harus dijalankan," katanya.
Bahkan menurutnya, rupiah yang melemah tidak berdampak tajam pada anggaran 2015, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Menurutnya pemerintah akan menjaga fundamental ekonomi untuk meyakinkan pasar dan menguatkan rupiah. Caranya dengan menggenjot realisasi anggaran belanja, menjaga inflasi dan iklim usaha.
Hanya saja dia mengakui, pelemahan rupiah berimbas pada pembayaran bunga utang. Namun kenaikan bunga utang ini akan tertutupi dengan penerimaan negara yang naik dari pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). "Kalau rupiah melemah, pembayaran bunga utang meningkat, tapi penerimaannya juga meningkat," ujarnya.
Pembayaran PNBP seperti royalti sumber daya alam PNBP dibayar dalam dolar AS. Data Kemkeu per 31 Juli 2015, realisasi PNBP sebesar Rp 150,2 triliun atau 55,8% dari target Rp 269,1 triliun.
Peningkatan PNBP diharapkan bisa menutupi kenaikan bunga utang. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu, posisi utang pemerintah pusat sampai akhir Juni 2015 adalah Rp 2.864,18 triliun, naik 0,74% dari posisi bulan sebelumnya Rp 2.843,25 triliun.
Sementara realisasi belanja bunga utang pada akhir Juni 2015 sebesar Rp 73,61 triliun atau 47,3% dari pagu Rp 155,73 triliun.
Sementara itu Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yakin BI akan mengambil langkah penting karena pelemahan rupiah adalah murni ekspektasi pedagang pasar uang yang pesimis terhadap negara yang memiliki hubungan dagang yang tinggi dengan China.
"Tidak ada lagi hubungannya sama fundamental. Ada ekspektasi yang agak berlebihan terhadap devaluasi China. BI sudah menyampaikan kepada kami," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News