kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.948.000   47.000   2,47%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Pajak Rokok di Daerah Baru Berlaku Lima Tahun Lagi


Rabu, 03 Juni 2009 / 09:59 WIB
Pajak Rokok di Daerah Baru Berlaku Lima Tahun Lagi


Sumber: KONTAN | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang sudah sepakat mematok pajak rokok antara 10%-15% dari cukai rokok. Namun, mereka belum akan menerapkan ketentuan itu dalam tempo segera.

Pajak rokok yang bertujuan menekan konsumsi rokok sekaligus mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) itu baru mulai berlaku 1 Januari 2014 nanti. Artinya, masih ada waktu lima tahun buat Pemerintah daerah menerapkan pajak rokok di wilayahnya.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Departemen Keuangan, Budi Sitepu mengatakan, pemilihan batas waktu yang cukup lama tersebut lantaran Pemerintah membutuhkan persiapan matang buat mendukung pelaksanaan kebijakan baru itu. "Kami perlu mengatur sistem dan tataniaga rokok sehingga pemungutan pajak dapat optimal," ujar Budi kepada KONTAN di Jakarta, Selasa (2/6).Untuk itulah, DPR dan Pemerintah sepakat memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan buat mengatur detail teknis pemungutan pajak rokok ini.

Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) Harry Azhar Azis menambahkan, Pemerintah dan DPR menyadari bahwa mengubah pola distribusi rokok tidaklah mudah. Sebab, tataniaga rokok melibatkan banyak pihak. Mulai produsen, distributor, hingga pedagang eceran.

Nah, agar tidak terjadi persoalan di belakang hari, Pemerintah harus melakukan kajian yang mendalam dan ekstra hati-hati. Apalagi, rokok yang dijual pada satu daerah harus tercatat di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi itu. "Kalau tidak maka dianggap rokok ilegal," ucap Harry.

Rencana Pemerintah memungut pajak rokok mendapat tanggapan beragam. Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, pajak ini dapat memberikan pengaruh positif buat menekan konsumsi rokok.

Kendati begitu, penetapan pajak rokok termasuk sesuatu hal yang tidak lazim dilakukan. Sebab, banyak negara hanya menaikkan tarif cukai. "Sekarang di dunia hanya Thailand yang menerapkan pajak rokok," kata Tulus.

Sebagai catatan, 1 Februari lalu, Pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Dengan begitu, Pemerintah berharap pendapatan cukai yang masuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2009 akan menembus Rp 49,49 triliun. Maklum, cukai rokok menjadi penyumbang terbesar pendapatan cukai.

Menurut Tulus, lantaran masuk kategori pajak maka porsi dana hasil pajak rokok yang dipakai buat meningkatkan kesehatan harus lebih besar dari separuh jatah provinsi dan kabupaten. "Seharusnya, 70% dana yang diperoleh provinsi atau kabupaten/kota dari pajak rokok dipakai buat kesehatan," lanjutnya. Tak hanya itu, pajak rokok juga semestinya tidak dibebankan kepada konsumen.

Sayang KONTAN tidak berhasil mendapatkan tanggapan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti maupun Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran.

Namun, Muhaimin pernah menyatakan bahwa pelaku usaha tidak pernah dilibatkan oleh Pemerintah maupun DPR soal rencana pengenaan pajak rokok ini. Padahal, jika Pemerintah memungut pajak maka harga rokok bakal naik.

Situasi ini tentu bakal memberatkan konsumen. Buntutnya, daya beli masyarakat atas rokok merosot dan kinerja keuangan industri hasil tembakau bakal terpuruk.

Pengalaman pahit semacam ini pernah terjadi saat Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, Februari lalu. Berdasarkan data Gappri, volume penjualan rokok di Februari 2009 merosot hingga 58% ketimbang bulan sebelumnya menjadi 12,2 miliar batang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×