Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Ancaman kedaulatan Indonesia sudah berada di depan mata. Pemerintah Republik Rakyat China dikabarkan telah mengklaim salah satu wilayah Indonesia sebagai bagian dari negeri Tiongkok tersebut.
Wilayah yang dimaksud adalah perairan yang berbatasan dengan laut China Selatan, yaitu perairan Natuna. Seperti dikutip dari kantor berita Antara, Asisten Deputi I Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, bidang doktrin strategi pertahanan Fahru Zaini mengatakan Natuna, yang berada di provinsi kepulauan Riau sudah masuk ke dalam peta negara China.
Padahal di perairan tersebut tersimpan sejumlah kekayaan alam yang potensinya masih cukup besar. Staf Khusus Kepresidenan bidang hubungan luar negeri, Teukeu Faizasyah mengatakan perdebatan soal wilayah Natuna ini memang sudah terjadi sejak dulu.
Ia bilang seharusnya masalah ini sudah diselesaikan sejak Menteri Luar Negeri dijabat oleh Ali Alatas. "Memang China sempat mengeluarkan peta yang mencantumkan sembilan atau enam garis batas, termasuk Natuna," ujar Faizasyah, Kamis (13/3) kepada KONTAN.
Nah, pencantuman wilayah Natuna ke dalam garis-garis itu menurutnya dipersepsikan sebagai klaim oleh pemerintah China. Tetapi sebetulnya tidak ada potensi bagi pemerintah China untuk mengklaim, apalagi wilayah itu sebagian besar sudah dieksplorasi oleh pemerintah Indonesia.
Kepala Humas SKK Migas Zuldadi Rafdi menambahkan sejauh ini potensi sumber daya alam di perairan Natuna cukup besar. Setidaknya ada dua blok tambang minyak dan gas bumi yang sudah dieksplorasi di sana, yaitu blok dan blok B.
Sejauh ini produksi gas lebih besar dibandingkan minyak bumi. Tak kurang dari 1,1 juta kubik feet per hari gas yang dihasilkan dari kedua blok tersebut. "Itu belum termasuk dengan cadangan yang terkandung di blok D, yang masih dirahasiakan," ujar Zuldadi.
Sejumlah perusahaan gas Internasional sudah menginvestasikan uangnya untuk mengelola blok-blok tersebut. Di antaranya adalah, untuk blok A sudah ada PT Medco Energy International, Exxon Mobil, dan Premiere Oil Indonesia. Sementara blok B dikelola oleh Premiere Oil Indonesia, ConocoPhillips, dan Star Energy.
Zuldadi bilang kontrak kerjasama eksplorasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut masih cukup panjang. Jadi, jika terjadi sengketa di wilayah tersebut akan membahayakan bagi kelangsungan eksplorasi tersebut. Namun Ia mengaku hingga saat ini belum mendapat kabar secara resmi mengenai klaim tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News