Reporter: Herry Prasetyo, Surtan PH Siahaan | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Sebuah kebijakan bisa menjadi sebuah pedang bermata ganda. Di satu sisi bisa efektif menyelesaikan persoalan, tapi di sisi lain bisa berbalik arah menimbulkan masalah baru. Apalagi, apabila kebijakan tersebut terlalu dipaksakan.
Niat pemerintah menekan defi sit neraca jasa tentu patut mendapat dukungan. Maklum, nilai devisa di sektor jasa yang lari ke luar negeri cukup besar, sih. “Harus ada yang kita kerjakan supaya jangan ada pelarian devisa,” kata Muhammad Lutfi , Menteri Perdagangan.
Eksportir pun sepakat mendukung kebijakan pemerintah mengurangi defi sit neraca jasa transportasi barang dan jasa asuransi. Oleh karena itu, Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) ikut menekan nota kesepahaman bersama pada Februari 2013 lalu guna mendorong penggunaan cost insurance freight (CIF) pada kegiatan ekspor kita.
Sejatinya, Kementerian Perdagangan menargetkan program pemakaian CIF dalam kegiatan ekspor bisa dilakukan mulai Agustus 2013. Namun, agenda itu terpaksa ditunda. Gatot Prasetyo Adjie, Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, beralasan banyak hal yang masih harus disiapkan. “Kami mengadakan 56 kali pertemuan dengan pengusaha, baik dari perkapalan, asuransi, maupun eksportir,” ujar Gatot.
Nah, sebagai langkah awal, mulai 1 Maret 2014, eksportir wajib mencatat nilai transaksi ekspor dalam bentuk CIF pada dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB). Eksportir masih tetap boleh memakai cara penyerahan barang alias term of delivery (ToD) free on board (FOB). Cuma, dia harus mengisi elemen biaya pengapalan atau freight dan biaya asuransi dalam PEB. Sebagai acuan, Kementerian Perdagangan telah menetapkan nilai freight dan nilai asuransi dalam pengisian PEB.
Bagi eksportir, kewajiban mengisi elemen data nilai freight dan nilai asuransi pada PEB sepertinya bukan masalah besar. Benny Soetrisno, Ketua GPEI, menilai kewajiban pencatatan ekspor dari FOB menjadi CIF tidak berpengaruh secara material. Cuma, Moenardji Soedargo, Anggota Dewan Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI), beranggapan aturan ini akan sedikit merepotkan pada awalnya lantaran belum terbiasa.
Selain merepotkan, kewajiban mengisi PEB dalam bentuk CIF juga sedikit banyak membikin eksportir khawatir. Moenardji mengatakan, banyak pelaku ekspor khawatir pengisian elemen freight dan asuransi dalam PEB membikin kesalahpahaman dengan aparat pajak. “Aparat pajak, kan, bisa mengira eksportir menggunakan CIF dalam ekspor tapi mengaku FOB,” kata Moenardji.
Jasa asing lebih murah
Susiwijono Moegiarso, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, menegaskan, eksportir tidak perlu cemas karena tidak ada proses bisnis yang berubah dengan adanya kewajiban baru ini. Selain itu, direktur jenderal Bea Cukai akan menerbitkan modul PEB baru yang akan memudahkan eksportir mengisi data freight dan asuransi. Modul anyar ini menyediakan panduan formulasi perhitungan nilai freight dan asuransi, sehingga eksportir tidak perlu repot menghitung sendiri.
Namun, pemerintah tampaknya tak mau berhenti pada pencatatan PEB berdasarkan CIF saja. Kementerian Perdagangan juga berencana mewajibkan eksportir memakai metode CIF dalam kegiatan ekspor. “Kami tidak ingin hanya pencatatan, tapi juga bagaimana penggunaan CIF dalam kegiatan ekspor bisa terealisasi sehingga bisa menekan defi sit jasa,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdangan Nus Nuzulia Ishak.
Selama ini, Gatot menambahkan, perusahaan perkapalan asing dan asuransi asing ikut menikmati kue nan legit dari ekspor yang meningkat. Sebab, eksportir lebih suka menggunakan metode FOB dalam kegiatan ekspor. Nus menduga, eksportir tampaknya tidak mau repot mengurus pengangkutan dan asuransi barang yang ia ekspor, sehingga memilih persoalan pengangkutan dan asuransi menjadi tanggungan pembeli. Padahal, kalau eksportir mau menggunakan metode CIF, kue lezat dari jasa pengapalan dan asuransi barang bisa dinikmati pengusaha lokal.
Buat eksportir, problemnya bukan lantaran mereka tidak mau ataupun enggan mengurus masalah pengapalan dan asuransi barang. Benny bilang, penentuan metode eksportasi secara FOB atau CIF merupakan hasil kesepakatan pembeli dan pelaku ekspor berdasarkan pertimbangan harga barang sampai di negara tujuan.
Toto Dirgantoro, Sekretaris Jenderal GPEI, menuturkan, eksportir sebetulnya tidak hanya mau cari gampang saja. Tapi, eksportir juga tak mau repot mencari jasa angkutan untuk kegiatan ekspor. Sebab, selama ini bisa dikatakan hampir tidak ada perusahaan peti kemas lokal untuk kegiatan ekspor. “Kalau pelayaran domestik banyak,” ujarnya.
Toh, Toto mengakui, ada beberapa eksportir yang sudah memakai metode CIF dalam kegiatan ekspor. Cuma tetap, eksportir itu memakai jasa kapal asing. Alhasil, devisa tetap saja bocor ke luar negeri.
Jadi, ada banyak alasan kenapa eksportir lebih memilih metode FOB dan pembeli lebih memilih jasa pengapalan asing. Milawarma, Direktur Utama PT Bukit Asam, menyatakan, perusahaan kapal asing punya vesel berukuran besar bahkan superbesar. Padahal, komoditas ekspor Indonesia seperti batubara harus bersaing dengan banyak negara produsen dari Australia, misalnya. Sementara, perusahaan pelayaran di Australia umumnya menggunakan kapal superbesar. Sehingga, tarif pengangkutan jauh lebih murah ketimbang menggunakan kapal kecil seperti panamax size yang dimiliki perusahaan pelayaran nasional.
Segendang sepenarian, Moenardji mengatakan, selama ini pembeli memang lebih senang menggunakan kapal asing lantaran biaya lebih murah. Maklum, pembeli biasanya tidak hanya membeli suatu komoditas dari Indonesia saja. Untuk komoditas kopi, contohnya, pembeli di Eropa biasanya berbelanja dari banyak tempat, seperti Vietnam, Brasil, India, dan negara-negara di Afrika.
Karena merupakan pembeli dalam jumlah besar, importir umumnya sudah menyewa banyak kapal untuk mengangkut komoditas yang mereka beli dari negara-negara pengekspor. Otomatis, pembeli biasanya memperoleh tarif lebih murah dari perusahaan kapal asing. Oleh sebab itu, “Mereka biasanya minta menggunakan FOB biar biayanya lebih murah,” ungkap Moendjiran.
Tungkot Sipayung, Komisaris PT Perkebunan Nusantara IV sekaligus Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menambahkan, sebagian transaksi ekspor kelapa sawit selama ini menggunakan asuransi dan kargo asing. Alasannya, biaya asuransi dan pengangkutan yang ditawarkan perusahaan luar negeri memang lebih murah. Selain itu, kualitasnya juga lebih baik.
Asal kompetitif
Pembeli di luar negeri sejatinya tidak mempersoalkan, apakah metode penyerahan barang harus FOB atau CIF. Bagi mereka, menurut Benny, yang penting adalah harga akhir alias harga barang ditambah ongkos pengapalan dan asuransi bisa kompetitif. Lalu, pengiriman juga harus tepat waktu. Rencana pemerintah mewajibkan kegiatan ekspor menggunakan CIF sebetulnya juga tidak ada masalah. Asalkan, harga barang yang diekspor secara CIF lebih kompetitif dibandingkan dengan harga barang yang diekspor menggunakan FOB ditambah biaya freight dan asuransi setiba di tujuan. “Bagi pembeli, yang penting harga barang saat tiba di tujuan sama, apakah memakai CIF atau FOB,” kata Moenardji.
Tapi, di mata Tungkot, kewajiban menggunakan CIF ataupun memakai jasa pelayaran dan asuransi lokal bisa merugikan eksportir. Soalnya, biaya pengapalan dan asuransi dalam negeri belum bisa bersaing. Alhasil, jika pemerintah tetap memaksa memberlakukan kewajiban CIF dalam kegiatan ekspor dan memaksa eksportir menggunakan jasa kapal lokal, daya saing industri komoditas ekspor bisa turun. “Rencana itu bisa merugikan industri secara keseluruhan,” tegasnya.
Karena itu, pemerintah sebaiknya mengupayakan agar harga dan pelayanan jasa pengapalan dan asuransi lokal lebih bersaing dan memenuhi standar tertentu. Benny menambahkan, pelaku usaha pelayaran juga harus mempersiapkan kapal angkutan yang memadai dengan harga bersaing dan pelayanan lebih baik. “Biaya logistik adalah kunci persaingan barang ekspor,” imbuh Benny.
Milawarma sependapat, harga jasa pelayaran dan asuransi lokal harus lebih kompetitif dibanding layanan dari perusahaan asing. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan insentif supaya perusahaan pelayaran nasional bisa bersaing. Dan yang jelas, “Penggunaan sistem CIF akan lebih menguntungkan Indonesia,” kata dia.
Menurut Toto, kunci pemberlakuan kewajiban CIF dalam kegiatan ekspor terletak pada kesiapan pelaku usaha perkapalan dan asuransi di dalam negeri. “Kalau kapal siap, pengusaha kecil juga tidak masalah jika memang harus menggunakan CIF,” ujar Moenardji.
Kalau semua belum siap, kewajiban CIF bisa menjadi bumerang bagi ekspor kita.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 24 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News