Reporter: Herry Prasetyo, Surtan PH Siahaan, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Akibat masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengklaim kemenangan, masyarakat kikuk. Bagi kebanyakan orang, hasil hitung cepat usai pencoblosan pekan lalu membingungkan. Para pendukung tiap kubu juga harus bersabar untuk merayakan kemenangan.
Baik pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa maupun pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah mendeklarasikan kemenangan pilpres yang digelar Rabu (9/7) lalu. Berbekal hasil hitung cepat alias quick count beberapa lembaga survei, kedua pasangan juga telah menyatakan pidato kemenangan. Klaim kemenangan kedua kubu lantaran hasil hitung cepat tak seragam. Sebagian lembaga survei menyatakan Prabowo-Hatta unggul. Sebagian yang lain menyatakan Jokow-JK menang. Selain itu, selisih hasil hitung cepat juga begitu tipis.
Alhasil, hingga saat ini, kita belum tahu siapa yang memenangkan pilpres 2014. Mau tidak mau, masyarakat Indonesia harus menanti rekapitulasi penghitungan hasil suara yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bakal diumumkan 22 Juli 2014 mendatang.
Meski yakin menang dan merasa memperoleh mandat dari rakyat, Prabowo mengatakan, pendukung Prabowo-Hatta harus sabar menanti verifi kasi dan hasil rekapitulasi KPU. Menurut dia, hasil hitung cepat lembaga survei tidak punya dasar hukum. Karena itu, Prabowo menyerahkan sepenuhnya penghitungan hasil perolehan suara kepada KPU. Meski begitu, Prabowo meminta pendukung koalisi Merah Putih tetap waspada. “Jangan sampai ada yang serobot sini serobot sana,” kata Prabowo, mewanti-wanti.
Senada dengan itu, kepada pendukungnya Jokowi mengatakan pilpres belum selesai. Setelah pencoblosan, pendukung Jokowi-JK masih punya tugas mengawal hasil perhitungan suara hingga menjadi hasil resmi KPU. Masyarakat harus memastikan perhitungan suara di KPU berjalan benar, jujur, dan bersih tanpa ada intervensi. “Jangan mencemari ketulusan aspirasi rakyat,” kata Jokowi.
Lantaran selisih hasil perolehan suara versi hitung cepat yang terbilang tipis, kedua kubu patut khawatir. Tanpa pengawalan dan pemantauan seksama, kecurangan dan penggelembungan suara salah satu pasangan bisa saja terjadi. Itu sebabnya, kedua kubu merasa perlu mengawal rekapitulasi penghitungan hasil suara.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad mengatakan, potensi terbesar terjadi kecurangan rekapitulasi hasil suara berada di penyelenggara tingkat bawah, yakni panitia pemilihan suara (PPS) yang berada di desa atau kelurahan dan panitia pemilihan kecamatan (PPK). Menurut Muhammad, proses rekapitulasi di dua tingkat terbawah itu rawan lantaran pelaksana penyelenggaraan pilpres merupakan tenaga sementara. “Sehingga ada potensi intervensi oleh orang tertentu dan oknum penguasa daerah,” kata Muhammad.
Meski begitu, bukan berarti rekapitulasi di tingkat kabupaten atau kota dan tingkat provinsi imun dari kecurangan. Apalagi, kecurangan rawan terjadi lantaran proses rekapitulasi sangat singkat. Tak seperti rekapitulasi pemilihan umum anggota legislatif (pileg) yang mencapai 30 hari, waktu rekapitulasi penghitungan hasil suara pilpres hanya 12 hari.
Modus kecurangan
Marwanto, anggota Komisioner KPU Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, KPU sudah mengatur prosedur proses rekapitulasi baik di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), PPS, PPK, hingga KPU. Di TPS, misalnya, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) harus mengisi berita acara pemungutan suara dan mengisi formulir C1 yang berisi jumlah pemilih yang terdaftar di TPS, surat suara yang dikirim ke TPS, jumlah surat suara yang baik dan rusak, surat suara yang digunakan, serta surat suara yang sah dan tidak sah. “Formulir ini diisi bersama pengawas dan saksi kedua belah pihak,” kata Marwanto.
Formulir tersebut lantas dimasukkan ke dalam kotak bersegel dan dikirim langsung ke tingkat kelurahan. Sebelumnya, lanjut Marwanto, formulis C1 yang sudah diisi digandakan tujuh rangkap untuk diserahkan kepada saksi, pengawas, PPS, KPU daerah (KPUD). Di kelurahan, PPS membuka kotak suara dan membuka formulir C1 disaksikan pengawas, saksi kedua kubu, dan masyarakat. Hasil rekapitulasi dicatat pada form D, kemudian dimasukkan ke dalam kotak bersegel dan diserahkan ke PPK untuk rekapitulasi tingkat kecamatan.
Menurut Marwanto, berdasarkan aturan, proses rekapitulasi di semua tingkat terbuka untuk masyarakat. Artinya, masyarakat bisa memantau secara langsung proses rekapitulasi dari tingkat TPS hingga KPU. Rekapitulasi di tingkat PPS biasanya digelar di balai desa agar warga bisa menyaksikan.
Lalu, di mana kecurangan bisa terjadi? Menurut Marwanto, kecurangan bisa terjadi di tingkat desa dan kecamatan lantaran minim saksi. Kredibilitas saksi juga penting. Jika saksi bisa dibeli, salah satu pihak bisa melakukan kecurangan. Salah satu kubu juga bisa mendekati pengawas dan penyelenggara untuk melakukan kecurangan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ada beberapa modus kecurangan yang biasa terjadi saat pemilu. Pertama, memanfaatkan sisa surat suara yang tidak terpakai di TPS untuk dicoblos dan diberikan kepada kubu yang sudah memesan kepada oknum KPPS. Alhasil, perolehan suara kubu tersebut bisa menggelembung.
Kedua, kecurangan bisa terjadi dengan menuliskan hasil yang berbeda antara hasil yang ada pada lembar catatan penghitungan suara plano alias C1 plano dengan penulisan hasil pada formulir C1.
Ketiga, dalam beberapa kasus, penyelenggara menyerahkan pengisian formulir hasil penghitungan suara ataupun rekapitulasi suara kepada saksi agar pengisian lebih cepat. Di sinilah, celah manipulasi bisa terjadi sehingga timbul perbedaan hasil perolehan suara yag dimiliki penyelenggara dengan data peserta pilpres.
Menurut Titi, modus kecurangan rekapitulasi paling umum adalah politik uang. Jika pada saat pencoblosan pemilih menjadi sasaran, kini penyelenggara pilpres yang menjadi target politik uang. Yang paling rawan, penyelenggara pilpres dibayar untuk mengubah hasil rekapitulasi. Namun, Titi mengingatkan, kecurangan tidak akan terjadi apabila saksi dan pengawas pemilu benarbenar bekerja optimal.
Mengamini Marwanto, Titi menilai, kecurangan pemilu selama ini terjadi lantaran saksi dan pengawas pemilu lemah dalam pengawasan. “Kalau saksi dan pengawas serta penyelenggara benar-benar bekerja dan tidak kongkalikong, manipulasi dan kecurangan tidak akan terjadi,” kata Titi.
Drajat Wibowo, anggota Tim Sukses Prabowo-Hatta, mengatakan, politik uang memang menjadi celah kecurangan perhitungan dan rekapitulasi suara. Di tingkat KPUD sekalipun, permainan politik uang bisa dilakukan dengan mengubah data rekapitulasi. Karena itu, Drajat mengatakan, pihaknya akan mengawal proses rekapitulasi secara ketat. Apalagi, tim Prabowo-Hatta punya saksi yang diwakili kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memegang data C1. “Kami akan membandingkan hasil rekapitulasi dengan data C1 yang dimiliki PKS,” kata Drajat.
Di kubu lain, Enggartiasto Lukito, anggota Tim Sukses Jokowi-JK, mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan sistem teknologi informasi untuk melakukan perhitungan riil. Laporan dari saksi di mana pun bisa dikirimkan ke pusat data sehingga tim Jokowi-JK bisa mengetahui perkembangan perhitungan suara terkini.
Selain itu, tim Jokowi-JK juga sudah mengumpulkan salinan formulir C1 hingga 83%. “Kami juga mendapat bantuan dari relawan yang mengirim foto formulir C1 sebagai data pembanding,” imbuh Enggartiasto.
Langkah lain, kata Enggartiasto, tim Jokowi-JK sudah mengirim tim dari pusat ke daerah untuk melakukan verifi kasi formulir C1 yang sudah ada. Dengan semua langkah ini, ia berharap, bisa mendeteksi dan mengantisipasi kecurangan dan manipulasi rekapitulasi suara.
KPU jaga netralitas
Dengan selisih hasil hitung cepat yang tipis dan tak seragam, semua pihak tentu berharap KPU bisa menyelesaikan proses rekapitulasi dengan sebaik-baiknya tanpa memihak salah satu kubu. Menurut Titi, penyelenggara pemilu sebaiknya tidak macam-macam. KPU mempertaruhkan nama baik jika berani main mata dengan salah satu peserta pilpres.
Ketua KPU Husni Kamil Manik, mengatakan, KPU berupaya menggelar proses rekapitulasi di semua jenjang bisa berlangsung transparan dan jujur. Ia meminta, semua pasangan calon dan tim kampanye mengikuti secara cermat kegiatan rekapitulasi berjenjang di tiap tingkatan. Husni juga meminta tim capres menempatkan saksi yang kredibel pada pembahasan rekapitulasi di tiap tingkat. Sebab, “Di setiap tingkatan ada potensi kesalahan yang perlu dicermati,” kata Husni.
Agar proses rekapitulasi berjalan efektif dan efisien, KPU dan Bawaslu telah sepakat akan bekerja secara terpadu mulai dari tingkat PPS dan pengawas pemilu lapangan (PPL) di tingkat desa hingga tingkat KPU dan Bawaslu di pusat. Lantaran waktu rekapitulasi berjenjang cukup singkat, KPU dan Bawaslu juga sudah sepakat agar setiap persoalan yang ditemukan di jenjang tertentu harus diselesaikan secara cepat di tingkatan tersebut. Jangan sampai persoalan itu menjadi pekerjaan rumah pada tingkat berikutnya. “Kalau ada masalah rekapitulasi di tingkat desa, paling tidak sudah harus selesai di tingkat PPK,” kata Husni.
Husni juga merasa telah mengingatkan seluruh jajaran penyelenggara pemilu untuk menjaga netralitas dan independensi serta profesionalitas dan integritas dalam memproses hasil pemilu. Sehingga hasil pemilu yang ditetapkan secara nasional memiliki kepercayaan tinggi dan bisa diterima seluruh masyarakat.
Muhammad menegaskan, KPU dan Bawaslu akan tetap netral dan independen. Menurut dia, KPU dan Bawaslu hingga saat ini tidak di bawah tekanan atau intimidasi siapa pun. Bagi siapa pun yang melakukan tindak pelanggaran pemilu, Muhammad mengatakan, Bawaslu akan bersikap tegas menindak tanpa toleransi.
Baiklah. Mari berharap, proses rekapitulasi benar-benar berjalan jujur dan adil. Siapa pun jagoan Anda, silakan ikut mengawal rekapitulasi.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 42 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News