Reporter: Fahriyadi | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 78 tahun 2013 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan Keterkaitan dan berlaku mulai 10 Juni 2013 ini dinilai sejak awal sudah kehilangan legitimasinya.
Pengamat Hukum, Margarito Kamis, mengatakan saat rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan dengan agenda pembahasan optimalisasi penerimaan Negara pada (11/6) lalu, mengambil kesimpulan bahwa DPR meminta Pemerintah untuk merevisi PMK tersebut. Namun, kenyataannya, pemerintah bersikukuh memberlakukan PMK tersebut.
Margarito berpendapat, jika ada kenyataan hukum seperti itu, maka menunjukkan bahwa PMK 78 sudah kehilangan legitimasi sejak awal. "Artinya peraturan itu sudah pasti tidak bisa dilaksanakan. Kalau dipaksakan, akan lebih menimbulkan ketidapastian hukum di tengah kehidupan berbangsa ini," katanya, Minggu (16/6).
Ia menambahkan, pemerintah wajib memperhatikan atau mengikuti pertimbangan DPR tersebut. Pasalnya, dalam sistem negara kita, kekuasaan membuat UU ada di tangan DPR. Sedangkan Pemerintah, terlebih seorang menteri, hanya memperoleh kewenangan membuat peraturan karena didelegasikan, baik secara atributif maupun non atributif.
Margarito menambahkan, menteri tidak memperoleh delegasi langsung dari DPR. Menteri sama sekali tidak mempunyai kewenangan membuat peraturan, kecuali bila didelegasikan.
"Intinya, kekuasaan membuat peraturan (UU) itu ada pada DPR. Hal ini merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk memperhatikan pendapat DPR," terangnya.
Karena PMK 78 ini belum mendapatkan persetujuan DPR, Margarito menilai, secara konstitusional beleid tersebut tidak sah. Dari segi prosedur pembentukannya tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan konstitusional mendapat persetujuan dari DPR.
Menurut Margarito, ada dua hal yang tidak membuat PMK menjadi tidak sah, yaitu secara prosedur keliru dan mendapatkan penolakan dari masyarakat, yang menurut UU mereka wajib dimintai pertimbangannya. "Jadi, dua hal tersebut menjadi kelemahan luar biasa besar dari segi hukum atas PMK 78," katanya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi menyayangkan sikap pemerintah memberlakukan PMK 78. Menurut Sofjan, PMK 78 hanya akal-akalan pemerintah untuk menutupi kegagalan birokrat mengawasi kebocoran pendapatan negara dari cukai dan lemahnya pengawasan.
"Aturan ini ini tidak ada gunanya, justru bisa dimanfaatkan untuk memeras pengusaha rokok skala kecil," kata Sofjan.
Sofjan meyakini, pola bisnis perusahaan rokok yang menguasai pasar dalam negeri sudah tidak lagi mengandalkan hubungan keluarga sedarah.
"Pemerintah harus bijak dengan membuat aturan agar tidak mematikan industri rokok nasional. Saya yakin tidak ada yang berani macam-macam untuk mengakali cukai rokok. Karena itu, pemerintah harus konsisten melakukan pengawasan. Jadi tidak asal bikin aturan," ungkap Sofjan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News