Sumber: KONTAN | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Para mantan pejabat Bank Indonesia alias BI yang diduga menerima suap dalam proyek pengadaan uang pecahan Rp 100.000 akhirnya buka suara.
Bekas Direktur Direktorat Peredaran Uang BI Herman Yoseph Susmanto menjelaskan, BI tidak pernah berhubungan langsung dengan Reserve Bank of Australia (RBA), bank sentral Australia, dalam pengadaan uang polymer itu. BI hanya menjalin kontak dengan Securency International and Note Printing Australia (NPA), yang sebagian sahamnya dimiliki RBA.
Yang paling penting, Herman menegaskan, BI tidak pernah berhubungan dengan NPA melalui perantara. "Kami tidak pernah berhubungan dengan saudara Radius Christanto dalam hubungan BI dengan NPA," tegas Herman kemarin (31/5).
Radius disebut-sebut koran terbitan Australia, The Age, sebagai perwakilan RBA di Indonesia. Dia diduga mengalirkan uang suap senilai US$ 1,3 juta ke pejabat BI. Peran sang broker ini terungkap dalam dokumen faks antara Radius dengan RBA tertanggal
1 Juli 2009.
Herman menuturkan, NPA berhubungan dengan BI sejak 1993 silam. Saat itu, BI mencetak duit pecahan Rp 50.000 dengan gambar Presiden RI Kedua Soeharto. NPA menjalin komunikasi dan secara teratur berkunjung menanyakan akseptibilitas commemorative note pecahan Rp 50.000 tersebut. "Kunjungan ini tanpa perantara," katanya.
Selain perusahan Australia, BI juga pernah memesan uang kertas pecahan Rp 50.000 bergambar Soeharto ke De La Rue, Singapura. Pemesanan itu dilakukan lantaran BI mengalami shortage uang kartal, sementara Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) tengah mengalami kelebihan kapasitas atau over capacity pengadaan pecahan uang kertas Rp 50.000.
Kasus dugaan suap ini mulai bergulir ke rana hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus suap proyek pencetakan uang BI di Australia. Soalnya, KPK sudah menerima laporan resmi masyarakat soal dugaan suap kepada pejabat BI tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News