kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.470.000   6.000   0,24%
  • USD/IDR 16.705   1,00   0,01%
  • IDX 8.677   -9,12   -0,11%
  • KOMPAS100 1.190   -4,09   -0,34%
  • LQ45 853   -1,76   -0,21%
  • ISSI 310   0,09   0,03%
  • IDX30 438   -0,40   -0,09%
  • IDXHIDIV20 507   1,46   0,29%
  • IDX80 133   -0,28   -0,21%
  • IDXV30 138   -0,11   -0,08%
  • IDXQ30 139   0,30   0,22%

KSPI dan Partai Buruh Tolak PP Soal Pengupahan


Rabu, 17 Desember 2025 / 18:33 WIB
KSPI dan Partai Buruh Tolak PP Soal Pengupahan
ILUSTRASI. Presiden Partai Buruh Said Iqbal (WARTA KOTA/YULIANTO)


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh menolak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang dikabarkan telah ditandatangani Presiden Prabowo Subianto. Penolakan ini didasarkan pada absennya dialog sosial yang bermakna, ketertutupan substansi regulasi, serta potensi kerugian serius bagi kaum buruh.

Presiden KSPI, Said Iqbal menegaskan, proses penyusunan PP Pengupahan telah mengabaikan prinsip meaningful participation sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, buruh tidak pernah dilibatkan secara sungguh-sungguh dalam pembahasan substansi aturan.

“Buruh tidak pernah diajak berdiskusi untuk merumuskan PP Pengupahan ini. Yang terjadi hanyalah sosialisasi sepihak, itu pun hanya satu kali di Dewan Pengupahan. Tidak ada dialog, tidak ada pembahasan mendalam,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (17/12).

Baca Juga: Gibran Tinjau Kelancaran Distribusi BBM Pascabencana di SPBU Raklunung Aceh

Iqbal mengungkapkan, hingga saat ini isi lengkap PP Pengupahan tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada serikat pekerja. Sosialisasi yang diklaim pemerintah hanya dilakukan satu kali, yakni pada 3 November 2025, tanpa ruang untuk perdebatan substantif ataupun perbaikan bersama.

Lebih jauh, KSPI menilai terdapat indikasi kuat bahwa isi PP tersebut justru menurunkan standar perlindungan upah, terutama melalui perubahan definisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Menurut Iqbal, KHL seharusnya tetap mengacu pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 yang menetapkan 64 item kebutuhan hidup layak, mencakup kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya. Namun, dalam penjelasan Kementerian Ketenagakerjaan terkait formula kenaikan upah minimum, definisi tersebut tidak lagi digunakan.

“Pemerintah seolah membuat definisi KHL versi baru secara sepihak. Ini sangat berbahaya karena KHL adalah fondasi utama pengupahan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Iqbal juga mempertanyakan metodologi penghitungan yang digunakan pemerintah. Jika pemerintah mengklaim menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), maka seharusnya rujukan utama adalah Survei Biaya Hidup (SBH), yang selama ini menjadi dasar objektif penghitungan KHL.

Namun dalam praktiknya, SBH tidak dijadikan acuan utama, sehingga membuka ruang manipulasi angka dan melemahkan posisi buruh dalam penetapan upah minimum.

Selanjutnya: SPTP Bidik Operasional Unggul pada 2026, Perkuat Alat dan Infrastruktur Terminal

Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok (18/12), Provinsi Ini Diguyur Hujan Sangat Deras

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×