Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Usulan pemerintah menaikkan porsi bagi hasil keuntungan dari usaha minyak dan gas bumi (migas) bisa mencapai 90% untuk negera mulai menuai reaksi dari kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).
Anggota KKKS yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) mempermasalahkan syarat penentuan besaran persentase bagi hasil keuntungan berdasarkan luas lapangan migas. Menurut Sammy Hamzah, Wakil Presiden IPA, luas lapangan migas tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan persentase bagi hasil keuntungan.
Sebab masing-masing lahan migas memiliki tingkat kesulitan eksplorasi dan nilai keekonomian yang berbeda-beda. "Lapangan migas besar dengan tingkat kesulitan tinggi dan persentase keuntungan hanya 10% tidak menarik bagi kontraktor," tandas Sammy kepada KONTAN, Jumat (24/8).
Sekadar mengingatkan, dalam revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, pemerintah mengusulkan porsi bagi hasil minyak dan gas dibuat sama yaitu, 90% untuk negara dan 10% untuk kontraktor, tergantung dari luas lapangan migas. Padahal, semula, bagi hasil minyak sebesar 85% untuk negara serta 15% kontraktor. Sedangkan untuk gas bumi, pembagiannya 70% untuk negara dan 30% kontraktor.
Sammy khawatir bagi hasil yang kecil berpotensi menurunkan minat investasi sektor migas di Indonesia. "Seharusnya porsi lebih besar untuk kontraktor agar potensi lapangan migas di Indonesia bisa dieksplorasi," ujarnya.
Makanya, IPA mengusulkan ketentuan bagi hasil ini dibuat fleksibel. Ambil contoh, untuk lahan eksplorasi skala besar dengan tingkat kesulitan tinggi bisa menerapkan pola lama yaitu 85%:15%. Bila tingkat kesulitan dalam eksplorasinya rendah bisa menggunakan pola bagi hasil 90%:10%.
Insentif migas
Dito Ganinduto, anggota Komisi VII DPR menilai, pemerintah harus mempertimbangkan tingkat kesulitas dan lokasi lapangan migas sebelum menentukan porsi bagi hasil. "Jika tingkat kesulitannya cukup tinggi, porsi bagi hasil untuk kontraktor bisa lebih besar," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah juga perlu memikirkan insentif tambahan jika nantinya kebijakan baru soal bagi hasil migas diberlakukan. "Insentif baru bisa dalam bentuk investment credit atau berupa keringanan pajak," jelasnya.
Kata Dito, sampai saat ini, kontraktor migas masih menikmati insentif dari pemerintah berupa pembebasan bea masuk barang atau peralatan untuk operasi di hulu. "Kebijakan cost recovery juga menjadi insentif tersendiri bagi kontraktor migas," ujar dia.
Tahun 2009, pemerintah mengalokasikan anggaran stimulus pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar Rp 2,5 triliun untuk sektor migas.
Namun, sejak tahun 2011 kebijakan ini berubah. Pemerintah dan DPR menghapus anggaran PPN DTP dalam APBNP 2011. Sebagai gantinya, pemerintah memasukan alokasi dana tersebut ke dalam pos subsidi pajak.
Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11/2011 tentang APBNP 2011 yang menyebutkan, pemerintah tidak lagi menanggung PPN DTP atas pajak dalam rangka impor (PDRI) eksplorasi hulu migas. Beleid itu menganulir UU 10/ 2010 tentang APBN 2011 yang mengalokasikan PPN DTP atas PDRI eksplorasi hulu migas senilai Rp 2,5 triliun.
Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan 22/2011 menyebutkan, pemerintah menanggung PPN DTP PDRI migas hanya sampai 31 Desember 2011. UU APBNP 2011 juga merupakan jawaban atas UU 42/2009 tentang PPN yang menyebutkan tidak ada lagi mekanisme DTP. Yang ada dikenakan atau dihapuskan PPN-nya.
Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menjelaskan, perubahan ini hanya perubahan nomenklatur atau perubahan pos anggaran saja. Pemerintah pada akhirnya tetap memberikan PPN DTP kepada pengusaha migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News