kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kemenkeu: Risiko inflasi dari burden sharing akan terus dimonitor


Jumat, 24 Juli 2020 / 12:55 WIB
Kemenkeu: Risiko inflasi dari burden sharing akan terus dimonitor
ILUSTRASI. Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Bank Indonesia (BI), telah menyetujui skema pembagian beban (burden sharing) dalam rangka pembiayaan defisit anggaran akibat dampak pandemi Covid-19. 

Namun demikian, berbagai pihak mengantisipasi adanya risiko lonjakan inflasi yang muncul akibat skema ini. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan, pemerintah akan terus memonitor dan berdiskusi dengan BI untuk mengantisipasi risiko ini. Meski begitu, Luky mengatakan saat ini tingkat inflasi masih cukup terkendali.

Baca Juga: BI siapkan langkah mitigasi untuk tanggulangi risiko burden sharing

"Tapi kan kita tahu misalnya sampai sejauh ini inflasi sangat terkendali dalam kondisi seperti ini, yang mana pertumbuhan ekonomi terdampak akibat adanya pandemi, aktivitas ekonomi menurun, kita juga tahu aggregate demand pun saat ini sedang menurun," ujar Luky di dalam diskusi virtual, Jumat (24/7). 

Luky menjelaskan, pihaknya telah berhitung dengan BI mengenai hal ini dan diperkirakan sampai dengan akhir tahun tingkat inflasi masih akan cukup terjaga dan dikelola dengan baik. 

Sebagaimana diketahui, skema burden sharing yang disepakati terbagi menjadi dua, yaitu public goods dan non public goods. 

Pembiayaan yang termasuk ke dalam kategori public goods ini, adalah belanja di bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun, belanja di bidang perlindungan sosial Rp 203,90 triliun, serta belanja di bidang sektoral K/L dan Pemda sebesar Rp 106,11 triliun, sehingga total pembiayaan public goods adalah Rp 397,56 triliun. 

Nantinya, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah lewat mekanisme private placement dengan referensi suku bunga Reverse Repo Rate  (RRR) yang akan ditanggung oleh BI juga seluruhnya. 

Kemudian kategori non-public goods terbagi menjadi dua, yaitu khusus sektor UMKM dan korporasi non-UMKM, serta belanja non publik lainnya. 

Adapun pembiayaan yang termasuk ke dalam non-public goods adalah belanja untuk sektor UMKM sebesar Rp 123,46 triliun, serta belanja korporasi non-UMKM sebesar Rp 53,57 triliun, sehingga total pembiayaan non-public goods adalah Rp 177,03 triliun. 

Di dalam skema ini, pemerintah akan menerbitkan SBN lewat mekanisme pasar dengan BI sebagai stand by buyer. Di sini, pemerintah akan menanggung bunga sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1% dan sisanya ditanggung oleh BI. 

Baca Juga: Bahana TCW sebut burden sharing bakal bangkitkan daya tarik SBN

Terakhir, adalah kategori non-public goods untuk belanja lainnya yang menyangkut insentif usaha dan belanja-belanja komitmen pemerintah sebesar Rp 328,87 triliun. Di dalam skema ini, pemerintah akan menerbitkan SBN melalui mekanisme pasar dan seluruh suku bunga ditanggung oleh pemerintah. 

"Jadi kami sudah berhitung dengan BI, InsyaAllah inflasi sampai dengan akhir tahun itu masih cukup terjaga. Kami juga sudah perhitungkan mana yang diterbitkan dengan private placement, mana yang lewat mekanisme market, gimana burden sharing-nya, itu sudah kita perhitungkan semua dampaknya ke nilai tukar, inflasi, ke kredibilitas market, hubungannya dengan yield sudah kita perhitungkan," kata Luky. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×