Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan digunakan untuk membayar utang badan usaha Milik Negara (BUMN) karya.
Saat ini, utang BUMN karya ke perbankan masih menjadi sorotan. Tercatat nilai kredit perusahaan konstruksi pelat merah ke perbankan telah mencapai Rp 46,21 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, pada dasarnya BUMN adalah kekayaan negara dipisahkan. Sehingga pembayaran utang perusahaan tersebut sudah pasti tidak langsung dibayarkan dari APBN.
“BUMN adalah kekayaan yang dipisahkan negara, jadi pembayaran utang tidak langsung dari APBN kecuali kalau ada utang APBN kepada BUMN tersebut akan kita bayar sesuai kewajiban,” tutur Isa dalam konferensi pers APBN KITA, Jumat (11/8).
Baca Juga: Wijaya Karya (WIKA) Garap 23 Proyek Strategis Nasional pada Semester II
Meski begitu, Isa menjelaskan, pemerintah setiap tahun menyuntikkan modal dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN. Namun, dana itu tidak ditujukan langsung membayar utang BUMN tersebut. Pemberian PMN itu dilakukan sesuai perencanaan dan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan saat menyusun APBN bersama DPR.
“Tahun ini, kami memberikan (PMN) untuk BUMN karya yang setahu kami hanya kepada Hutama Karya saja, dan itu (dana PMN) tidak direncanakan untuk membayar utang-utang,” jelasnya.
Untuk diketahui, utang BUMN karya ke perbankan menjadi sorotan, sebab, nilai utang yang besar dinilai merugikan perbankan selaku kreditur, maupun perusahaan konstruksi pelat merah itu sendiri.
Saat ini sejumlah perbankan sudah mulai melakukan penilaian atau asesmen terhadap kredit debitur BUMN karya. Bahkan PT Bank Mandiri Tbk telah menghentikan penyaluran pinjaman terhadap seluruh karyawan di PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Amarta Karya dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT).
Selain menghentikan penyaluran kredit, Bank Mandiri juga telah meningkatkan porsi pencadangan kredit BUMN Karya. Hal ini merupakan langkah antisipatif terhadap adanya potensi kerugian perusahaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News