Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) membeberkan dasar pengenaan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) sebesar 32% terhadap Indonesia.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, angka 32% ditentukan berdasarkan formula yang ditetapkan dengan memperhitungkan neraca perdagangan AS.
Adapun perhitunganya yakni nilai defisit AS dibagi nilai ekspor mitra dagang AS dan dikali 100 kemudian dikurangi 50%.
"Nah ini gambarannya, jadi ekspor kita US$ 28,1 miliar dan impor dari AS US$ 10,2 miliar, kemudian defisitnya berarti US$ 18 miliar. Sehingga resiprokalnya adalah 63,7%, kemudian dipotong 50% menjadi 32%," kata Djatmiko.
Djatmiko bilang, alasan tarif respikoral setiap negara berbeda-bada lantaran mempertimbangkan neraca perdagangan Negeri Paman Sam itu sendiri.
"Kenapa tarif resiprokal itu besarnya beda-beda, jadi tergantung dari besaran nilai di besaran nilai defisit ataupun surplus nanti dibagi nilai ekspor ke AS," ujarnya.
Baca Juga: Sejumlah Negara Asia akan Beli Komoditas Energi dari AS, Jadi Bagian Negosiasi Tarif
Lebih lanjut, Djatmiko juga membantah Indonesia mendapat kebijakan tarif sampai 47% usai ditambah dengan dengan kebijakan tarif dasar sebesar 10%.
Djatmiko menegaskan, kebijakan tarif komoditas beragam terhadap produk Indonesia beragam bahkan ada yang 0%.
Dia mencontohkan kebijakan tarif yang dikenakan AS kepada produk tekstil dan pakaian dari Indonesia itu beragam mulai dari 5%-20% berdasarkan jenis produknya. Tarif dengan kebijakan lama ini, nantinya akan dimabah kebijakan tarif dasar sebesar 10%.
Sehingga, kenaikan tarifnya nanti tidak semua produk. Hal itu akan bergantung pada tarif terdahulu sebelum kebijakan tarif dasar ini berlaku.
"Contoh untuk tekstil dan pakaian itu akan ditambah 10% sehingga nanti range yang baru adalah 15% sampai dengan 30%/ Jadi teman-teman kalau nanti tolong diluruskan kalau sudah pencantuman tolong dimonitor yang tadi tulis 47%," kata Djatmiko.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, pembicaraan utama dalam negosiasi tarif dengan AS adalah penerapan tarif yang tinggi untuk sejumlah produk ekspor utama Indonesia, seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang. Bahkan nilai tarif yang dibebankan ke Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya.
Airlangga mengungkapkan, saat ini produk garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang asal Indonesia dikenakan tarif masuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara pesaing, baik dari kawasan ASEAN maupun negara Asia lainnya di luar ASEAN.
"Sekarang untuk produk ekspor utama Indonesia seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang itu menjadi produk yang Indonesia mendapatkan tarif biaya masuk lebih tinggi dibandingkan beberapa negara bersaing baik dari ASEAN maupun non-ASEAN negara Asia yang lain," kata dia dalam konferensi pers perkembangan Terkini Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia - AS, secara virtual, dikutip Sabtu (19/4).
Menurut Airlangga, dengan diberlakukannya tambahan tarif sebesar 10% selama 90 hari, beban biaya ekspor Indonesia semakin meningkat. Ia pun merinci, tarif rata-rata produk tekstil dan garmen Indonesia saat ini berkisar antara 10% hingga 37%. Dengan tambahan 10%, maka tarif efektif yang harus dibayar menjadi 20% hingga 47%.
Baca Juga: Jadi Sorotan Negosiasi Tarif, Bagaimana Kiprah Perusahaan Pembayaran AS di RI?
Selanjutnya: Fintech GandengTangan Sebut Pangsa Pasar Segmen Mikro dan Ultra Mikro Masih Besar
Menarik Dibaca: 8 Warna Cat Terbaru 2025 yang Bikin Rumah Modern Minimalis Makin Adem dan Elegan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News