Reporter: Asep Munazat Zatnika, Agustinus Beo Da Costa, Ranimay Syarah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Ini bisa menjadi kado tahun baru yang indah bagi pengusaha pertambangan termasuk pengusaha minyak dan gas (migas). Sebab, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyempitkan wilayah pajak bumi dan bangunan (PBB) yang harus dibayar pengusaha migas.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 45 /PJ/2013 tentang tata cara pengenaan PBB sektor pertambangan minyak bumi, gas bumi dan panas bumi menyebut, objek pajak yang dikenakan PBB berubah konsep, dari wilayah kerja menjadi kawasan. Aturan ini efektif berlaku 1 Januari 2014.
Dengan perubahan konsep ini berarti objek PBB sektor migas dan panas bumi berupa tanah dan bangunan di kawasan yang dimanfaatkan oleh kontraktor kerja sama secara riil. "Artinya objek pajaknya adalah hanya tempat atau kawasan yang dimanfaatkan, bukan semua wilayah kerja yang menjadi hak kontraktor kerja sama," kata Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi, Rabu (1/1) kemarin.
Contohnya PBB hanya dipungut di kawasan yang terdapat peralatan, rig ataupun bangunan proyek. Aturan ini juga menegaskan bahwa areal lain seperti perairan pedalaman dan perairan lepas pantai tidak kena pungutan PBB.
Dengan batas yang lebih spesifik dan jelas, maka pengusaha tidak bisa mengelak membayar PBB lagi. Sebab sebelumnya dengan konsep wilayah kerja, banyak pengusaha mengelak dengan alasan tidak ada eksplorasi.
Chandra berharap, aturan ini akan meningkatkan kepatuhan pembayaran PBB migas. Dengan begitu maka pada 2014 target penerimaan negara dari sisi perpajakan sebesar Rp 110,2 triliun bisa tercapai. Dari target itu, Rp 22 triliun berasal dari PBB migas. "Aturan ini bisa mendongkrak kepatuhan pengusaha tambang," ujarnya. Hingga 30 Desember 2013 penerimaan PBB migas mencapai Rp 20,9 triliun.
Tagihan dibatalkan
Seperti diketahui sejak 2010, pemerintah mengalihkan kewajiban pembayaran PBB industri migas dari pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
PBB dipungut untuk seluruh tanah dan bangunan di wilayah kerja KKKS. Tapi aturan ini mendapat perlawanan dari pengusaha, karena mereka mengklaim tidak memakai seluruh wilayah kerja.
Corporate Tax Planning Manager BP Indonesia Mohamad Hendriana menilai aturan baru soal PBB migas ini adalah langkah positif. Namun dia berharap aturan ini juga memberikan kejelasan tentang pungutan PBB di lapangan migas lepas pantai.
Menurut dia belum ada dasar menetapkan PBB atas wilayah kerja offshore yang masih dalam tahapan eksplorasi dan belum menghasilkan migas. "Undang-undang juga tidak mengenakan PBB untuk wilayah yang tidak dipasang rig atau bangunan," katanya.
Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako khawatir, walau aturan lebih spesifik, di lapangan masih akan terjadi salah tafsir. Sebab beleid tidak menegaskan apakah proyek eksplorasi di lepas pantai bisa menjadi objek PBB migas. "Belum efektif kalau hanya perubahan konsep objek saja," katanya.
Walau positif, aturan ini dinilai belum menyelesaikan persoalan tagihan PBB senilai US$ 60 juta kepada BP Indonesia. Selain BP, saat ini ada sekitar 15 KKKS yang ditagih PBB dengan total Rp 2,6 triliun. "Pajak membutuhkan landasan hukum menyelesaikan tagihan itu," kata Hendriana.
Pengurus Indonesia Petroleum Association (IPA), Zahra Mulachella berharap pajak juga membatalkan surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) senilai US$ 250 juta kepada perusahaan KKKS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News