Reporter: Asep Munazat Zatnika, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih menunjukkan tren pelemahan. Pada Senin (9/3), berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah melemah ke level Rp 13.047 per dollar AS. Aksi memble rupiah ini telah menembus batas psikologis.
Apa sesungguhnya faktor yang membuat rupiah terus letoi? Sejumlah ekonom menilai, membaiknya perekonomian AS menjadi faktor utama pemicu terus merosotnya nilai tukar mata uang garuda.
Namun, tidak sepenuhnya pelemahan rupiah disebabkan menguatnya dollar AS. Joshua Pardede, ekonom Bank Permata, menimpali, kebijakan pemerintah yang tidak tepat juga bisa membuat pasar melakukan spekulasi. Salah satu contohnya ialah kebijakan yang mewajibkan kalangan eksportir menyertakan dokumen letter of credit dalam setiap kegiatan ekspornya.
Joshua menilai, kebijakan itu akan mempengaruhi kinerja ekspor yang menjadi salah satu pendapatan devisa pemerintah. "Besar kecilnya devisa hasil ekspor (DHE) tentu akan memengaruhi persepsi pasar terhadap ketahanan nilai tukar rupiah," kata Joshua.
Bukan cuma itu. Kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 50 basis poin, menjadi 7,5%, juga dinilai ikut andil melemahkan rupiah.
Celakanya, ada kemungkinan, kebijakan moneter longgar akan kembali dilanjutkan BI setidaknya dalam satu bulan atau dua bulan ke depan. Kebijakan penurunan BI rate itu dinilai akan mempengaruhi neraca transaksi berjalan. Ada kemungkinan, jika kebijakan moneter semakin longgar, maka CAD sulit turun.
Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko menilai, pelemahan rupiah juga dipicu pesimisme pasar terhadap reformasi struktural yang dilakukan pemerintah. Akibatnya pemerintah belum mampu menekan current account deficit (CAD) atawa defisit neraca transaksi berjalan saat ini.
Prasetyantoko mencontohkan kebijakan yang bisa mengguncang kepercayaan investor. Antara lain, kewajiban pelaporan bukti pembayaran pajak deposito yang sempat membuat khawatir kalangan perbankan dan deposan. Kebijakan yang terkait pasar keuangan seperti itu akhirnya ditunda sampai batas waktu tak ditentukan.
CAD bisa melonjak
Pada tahun ini BI memprediksi CAD akan kembali ke level 3% dari produk domestik bruto. Kendati karakteristik CAD tahun ini lebih sehat karena berisi impor produktif, CAD tetap harus ditekan. Sebab, CAD jadi salah satu pemberi tekanan rupiah.
Joshua menyarankan, pemerintah perlu menekan CAD dengan kebijakan yang tepat. Dalam jangka menengah panjang adalah melakukan hilirisasi industri. Industri-industri yang selama ini orientasi impornya tinggi harus dikurangi. "Turunkan biaya logistik dengan membangun infrastruktur. Itu dorongan yang dibutuhkan untuk meningkatkan industri kita," imbuh dia.
Jika tidak ada perubahan kebijakan, Joshua memproyeksi, pada semester pertama tahun ini nilai tukar rupiah masih bertengger di kisaran Rp 12.800 per dollar AS.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menambahkan, untuk mengikis CAD, pemerintah harus menggenjot jumlah wisatawan mancanegara (wisman). Pariwisata Indonesia harus bisa dipoles agar menarik perhatian wisman. "Industri kreatif untuk menarik pariwisata harus jalan," pungkas Lana.
Toh, pemerintah berkelit, pelemahan rupiah bukan karena pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, sejauh ini kebijakan pemerintah sudah tepat. Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah murni karena faktor eksternal dan ini tidak bertahan lama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News