Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketegangan menyelimuti hubungan dagang Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Jepang melarang ekspor produk teknologi tinggi ke Korsel, sedangkan Korsel telah mengecam akan memboikot produk Jepang di negaranya sebagai balasan.
Mencuatnya ketegangan baru dalam hubungan dagang Jepang dan Korsel berisiko bagi Indonesia. Jika berlanjut dan berlarut-larut, bukan tak mungkin dampaknya serupa dengan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pemerintah dan BI terus mencermati dinamika perang dagang yang terjadi. Meski, situasi antara AS dan China sudah mereda pasca pertemuan kedua pemimpin negara dalam KTT G-20 di Osaka beberapa waktu lalu.
“Pertemuan Osaka mereka sepakat untuk kembali ke meja perundingan, jadi kami melihat tone lebih positif. Tapi bukan berarti ketidakpastian ke depan akan hilang,” ujar Perry, Jumat (5/7).
Perry menilai, belum ada yang dapat memastikan perang dagang tidak akan terjadi lagi dan meluas. Jika perang dagang meluas, risiko terhadap pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin besar.
Perluasan perang dagang yang kini terjadi di Jepang dan Korea Selatan berpotensi jadi risiko baru untuk perekonomian dalam negeri. Pasalnya, kedua negara tersebut masuk dalam jajaran sepuluh besar negara investor asing langsung (FDI) di Indonesia.
“Perlu antisipasi imbasnya ke investasi manufaktur Indonesia, terutama manufaktur dan elektronik. Jepang juga jadi negara tujuan utama ekspor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki kita. Efeknya bisa menyebar juga ke neraca dagang dan realisasi FDI,” ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira, Minggu (7/7).
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, Jepang menduduki posisi ketiga negara dengan nilai investasi asing terbesar di Indonesia, yaitu US$ 1,13 miliar pada kuartal I-2019.
Sementara, Korsel menempati posisi kedelapan dengan nilai investasi mencapai US$ 269,5 juta. Perang Dagang antar keduanya berisiko menurunkan arus investasi maupun permintaan barang.
Bhima mengatakan, pemerintah khususnya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan harus mengantisipasi ketegangan dagang ini dengan cepat. Hal ini agar tak mengulang perang dagang AS-China yang turut mempengaruhi kinerja dagang maupun investasi di dalam negeri.
Menurutnya, pemerintah harus langsung mendata industri dan komoditas apa saja yang berpotensi terdampak dari aksi saling balas dalam perdagangan Jepang dan Korsel saat ini.
Dengan begitu, pemerintah juga dapat menyiapkan kebijakan dan insentif yang tepat saat dampak tersebut mulai terefleksi pada perekonomian dan sektor riil.
“Misalnya, risiko terhadap penjualan bahan baku kita seperti batu bara, gas, karet, yang banyak dikonsumsi kedua negara itu. Jepang misalnya, salah satu importir gas terbesarnya Indonesia. Kalau kita tahu, treatment yang disiapkan juga bisa spesifik,” kata Bhima.
Di sisi lain, Indonesia juga tak boleh terlambat lagi menangkap peluang dari perang dagang. Layaknya pada AS-China, Indonesia juga punya peluang menjadi basis produksi bagi Jepang-Korsel apabila terjadi gelombang relokasi industri lagi.
“Kita tahu dampak perang dagang itu multipolar, belajar dari AS-China sebenarnya ada peluang juga misalnya relokasi industri. Kita terlambat kemarin, tapi sekarang harusnya kita bisa lebih cepat mengantisipasi,” tandas Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News