Reporter: Syarifah Nur Aida, Adi Wikanto, Uji Agung Santosa | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Negara-negara di Asia tetap berani menetapkan bunga rendah, meskipun program pengurangan stimulus di Amerika Serikat (AS) tetap berlanjut. Seharusnya, Indonesia juga bisa meniru mereka, karena suku bunga rendah bakal mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Di Asia Tenggara, suku bunga acuan Indonesia yang tertinggi kedua setelah Vietnam.
Gubernur Bank Sentral Korea Selatan, Lee Ju-yeol, memutuskan, suku bunga acuan tetap 2,5%. Suku bunga yang stabil itu bertahan dalam 11 bulan terturut-turut, meskipun belakangan ada tekanan dari sektor inflasi.
Bank sentral Philipina juga masih memempertahankan suku bunga acuan 3,5%. Itu merupakan suku bunga terendah dalam sejarah Philipina, dan sudah bertahan sejak Oktober 2012.
Namun, kondisi berbeda terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (BI) malah terus mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate berada di level tinggi, sebesar 7,5% sejak November 2013.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani, bilang, tingginya BI rate menyulitkan pengusaha ekspansi. Mengingat, dengan besaran BI rate itu, bunga pinjaman perbankan di level dua digit (di atas 10%). "Bunga kredit usaha rakyat (KUR) saja di atas 15%. Bagaimana mau cinta produk dalam negeri kalau harganya mahal," ujar Franky, Senin (14/4).
Menurut Franky, dengan inflasi yang terus turun, cadangan devisa di atas US$ 100 miliar, serta surplusnya neraca dagang, BI seharusnya menurunkan suku bunga acuan. Apalagi, sebentar lagi berlaku pasar bebas di Asia Tenggara. Pengusaha butuh dukungan perbankan dengan suku bunga pinjaman rendah untuk bersaing dengan negara tetangga.
Turunkan inflasi
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, menegaskan, BI rate tidak akan turun di kisaran 4%, jika inflasi tahunan belum mencapai sekitar 2%. Menurutnya, BI rate harus tetap dijaga di level saat ini demi menarik dana asing. "Kita butuh dana asing," ucap Mirza.
Keberadaan dana asing di pasar finansial mampu menjadi solusi dengan keterbatasan pendanaan dari sektor perbankan. Sumber pendanaan perbankan didominasi dana jangka pendek, sehingga sulit mendukung pembangunan infrastruktur.
Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII), Juniman, pun menegaskan, selama inflasi per tahun masih di kisaran 6%, suku bunga acuan akan tetap tinggi. Jika mau menurunkan inflasi, pemerintah harus berani menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
"Alihkan dana subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur," tambah Ekonom Bank Danamon, Anton Hendranata. Selama ini, lambatnya pembangunan infrastruktur merupakan masalah fundamental dari puluhan tahun lalu, yang menyebabkan inflasi tinggi tiap tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News