Reporter: Agus Triyono, Handoyo, Hasyim Ashari, Hendra Gunawan, Tri Sulistiowati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali merombak Kabinet Kerja. Sekitar 12 posisi dirombak, sejumlah menteri di antaranya harus keluar dari gerbong kabinet. Sebagai ganti di posisi kunci, utamanya bidang ekonomi, Presiden Jokowi mengangkat kembali sejumlah veteran menteri.
Satu nama yang paling banyak disorot adalah Sri Mulyani Indrawati yang menduduki kembali posisi Menteri Keuangan. Secara umum, sejumlah PR besar mengadang para menteri ekonomi yang dilantik Presiden Joko Widodo pada Rabu (27/7). Intinya adalah menyuntikkan tenaga bagi ekonomi Indonesia yang loyo.
Setidaknya lima hal harus dituntaskan tim ekonomi kabinet sekarang. Pertama, pengendalian harga pangan. Kedua, mengurangi kesenjangan ekonomi dan kesenjangan antar daerah. Ketiga, mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Keempat, penyehatan anggaran negara. Maklum, nilai belanja jauh di atas penerimaan pajak yang minim. Dus, pada semester I-2016, posisi defisit naik menjadi 1,78% dari PDB, sementara periode sama tahun lalu sebesar 0,78%. Kelima, penyuksesan program pengampunan pajak (tax amnesty).
Saat ini, program pengampunan pajak yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini diperkirakan sulit mengerek penerimaan pajak pada tahun ini.
Apa resep Menteri Keuangan Sri Mulyani? Dengan nada diplomatis, dia menyatakan masih membaca situasi sebelum meracik strategi. Soal tax amnesty? "Itu bagian dari kebijakan fiskal. Seperti itu jawabannya," tutur Sri Mulyani.
Dia menandaskan, tiga poin menjadi misinya, yakni mendongkrak ekonomi, penciptaan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. "Pertumbuhan dan kepercayaan masyarakat harus dijaga," kata Sri.
Chief Economist Bank Bukopin Tbk Sunarsip menilai, memperbaiki kondisi fiskal adalah tugas utama Sri Mulyani. "Kuncinya ada di sisi fiskal, dan itu PR berat Sri Mulyani bagaimana menggerakkan sisi belanja," katanya. Saat ini bagi Sunarcip, belanja negara tidak cukup mendorong ekonomi.
Proyek energi dan industri
Selain Sri Mulyani, tugas berat menanti sejumlah menteri ekonomi lain. Menteri ESDM Archandra Tahar diharapkan segera memastikan ketersediaan listrik bagi rumah tangga dan pengusaha, karena ekonomi sangat bergantung pada ketersediaan listrik.
Menteri ESDM perlu menitikberatkan pekerjaannya pada upaya mendorong realisasi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. "Sebelumnya program ini agak tersendat karena hubungan Menteri ESDM dengan PLN kurang baik," kata Sunarsip.
Sementara Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto harus bisa menumbuhkan industri manufaktur. Dalam setahun terakhir, industri manufaktur tumbuh rendah terimbas penurunan harga komoditi yang membuat industri pengolahan sulit bergerak.
Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menilai, pergantian menteri motivasinya lebih untuk meningkatkan koordinasi. Sebab sebetulnya pemerintah sudah memiliki 12 paket kebijakan ekonomi. Sayangnya paket itu tidak bisa diimplementasikan dengan baik oleh menteri-menteri bidang ekonomi.
Salah satu penyebabnya kurang koordinasi antar satu sama lain. Latif melihat komposisi kabinet saat ini sudah cukup baik meningkatkan ekonomi Indonesia. Seperti masuknya Sri Mulyani sebagai menteri Keuangan. "Dia orang pertama yang melakukan reformasi perpajakan," katanya Latif.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai reshuffle yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo disambut baik oleh pasar. Tapi, masalah besar yang harus dihadapi pemerintah ke depan adalah stagnasi perekonomian.
"Semua sektor mandek, dan tidak hanya perlu kepercayaan tapi juga terobosan langkah konkret," kata Enny.
Enny berharap, sinergi antar menteri dan dukungan finansial harus dijalin dan dikuatkan agar menumbuhkan optimisme pasar. Dia berharap, reshuffle sejumlah menteri ini bisa membuat solid kabinet, utamanya tim ekonomi.
Koordinasi dan kekompakan tim ekonomi itu penting. Sebab, menurut Enny, dua tahun terakhir fiskal pemerintah relatif babak belur akibat tim kabinet belum kompak. Akibatnya, efektivitas belanja pemerintah tak cukup kuat menggerakkan ekonomi dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News