Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Makin mengakar dan meluasnya masyarakat Indonesia yang merindukan Jokowi memimpin negara, sebagaimana terdeteksi dari semua survei berbagai lembaga, tak hanya membuat Partai Demokrat (PD) risau.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengklaim sebagai partai Islam pun ingin menghadang kader PDIP itu.
"Parpol Islam dan Ormas Islam agar bersatu dalam Pilpres. Umat Islam, khususnya para pemimpinnya, harus sadar Pilpres sangat strategis untuk umat," kata Ketua Bidang Humas DPP PKS, Mardani Alisera di Jakarta, Selasa (27/8).
Mardani berharap para pemimpin Parpol Islam dan Ormas Islam berinisiatif menggelar rembuk nasional untuk menemukan figur Capres yang didukung bersama. "Popularitas dan elektabilitas tokoh-tokoh umat masih rendah dan jauh dari harapan," tuturnya.
Itu sebabnya, kata Mardani, perlu segera dilaksanakan koordinasi dan pertemuan-pertemuan antara Partai Islam guna menemukan kader dan figur yang bisa didongkrak elektabilitasnya. "Segera laksanakan silaturahim antar-Parpol Islam dan Ormas Islam. Rumuskan strategi bersama bagi kesatuan suara dan sikap umat," tandasnya.
"Pak HNW (Hidayat Nur Wahid), Pak Yusril, Pak Muhaimin, Pak Hatta Rajasa, Pak Suryadarma Ali, bisa mengajak Pak Mahfud MD, Pak Dahlan Iskan ditambah yang lain untuk rembuk nasional," imbau Mardani.
Menurut Mardani, Pemilu Legislatif memang perlu berkompetisi, tapi tidak untuk Pilpres. "Pileg bisa kompetisi, tapi Pilpres harus bersatu," tegasnya.
Bukankah Jokowi juga muslimin, kenapa tak masuk Capres dalam Partai Islam? "Kita suka sama Jokowi, kita juga welcome sama Prabowo. Tapi, mereka tidak lahir dari rahim umat," jelas Mardani.
Capres yang lahir dari rahim umat, kata Mardani, akan membangun ekonomi syariah. "Sehingga dalam membangun ekonomi syariah, pesantren dan madrasah harus kuat," katanya.
Tapi, sebenarnya ada persyaratan lain yang harus dipenuhi Capres, termasuk harus berasal dari jalur nasionalis.
"Dua-duanya (Capres dan Cawapres) harus bebas korupsi, transparan dan akuntabel. Kalau semuanya sudah lewat, tinggal dipilih dengan artikulasi keumatan," jelas Mardani.
Mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) memberi apresiasi ide PKS itu. "Bagus, toh? Kan memang aturannya, kalau nanti tidak mencapai 20 persen suara di Pileg harus berkoalisi. Berarti, kan partai-partai Islam ini menyadari kalau suaranya kurang dari 20 persen. Jadi, mereka sudah mau gabung," kata JK.
Apakah Pak JK siap (Nyapres)? "Siap bagaimana? Kita mau memajukan bangsa ini," kata JK, diplomatis. Kendati mendapat apresiasi JK, seruan PKS bertepuk-sebelah tangan. Elite PPP, PKB dan PAN menolak.
"Saya tidak melihat urgensi dari ajakan itu. Kalau diminta partai-partai Islam bergabung, partai Islam yang mana? Kalau tak salah, PKS kan asasnya bukan Islam, cuma konstituennya Islam," kata Wakil Ketua PPP, Suharso Monoarfa.
Menurut Suharso, saat ini sudah bukan waktunya bicara dikhotomi partai Islam dan partai nasionalis. Masyarakat perlu diberi pandangan lebih luas, padangan yang mempersatukan.
"Tak perlu lagi didikhotomikan, dihadap-hadapkan antara partai Islam dan nasionalis. Mari melihat Indonesia lebih besar. PPP itu partai Islam, tapi PPP adalah rahmatan lil al amin untuk Indonesia," tegas Suharso.
Ia meyakini ide PKS sulit diwujudkan. Alasannya, saat ini partai-partai menunggu hasil Pileg, sehingga belum bisa memastikan pengusungan Capres.
"Apakah sekarang saat tepat, mengingat batas pengusulan untuk partai mengusung Capres, tidak dibuka. Kalau kita mengusulkan itu dibuka saja. Kalau nanti setelah Pilpres baru bisa terlihat," katanya.
PKB pun tak tertarik. "Kalau mau usul, boleh-boleh saja. Tapi, tak ada dikhotomi parpol Islam atau nonIslam. PKB sendiri religius nasionalis, Pancasila dasarnya," tutur Ketua Fraksi PKB, Marwan Jafar.
Ketua Bappilu PAN, Viva Yoga Mauladi mempertegas penolakan PPP dan PKB. "Cara pandang itu sudah tak tepat. Soal Pilpres, yang penting masing-masing bakal calon punya tingkat penerimaan dan keterpilihan, itu bisa jadi pertimbangan partai," katanya.
Pemilihan Capres tak bergantung kedekatan ideologi politik. "Jadi, bukan soal kedekatan ideologi politik partai kemudian memunculkan satu figur yang mewakili ideologi," jelasnya.
Pemilih, kata Viva Yoga, tak mendasarkan pilihannya berdasarkan ideologi Parpol. "Tapi, melihat dari sisi performance dan kinerja. Indonesia itu plural, berbeda agama, adat, budaya tradisi dan ideologi. Perbedaan karena SARA, jangan masuk politik. Itu berbahaya buat nilai nasionalisme," tutur Viva Yoga. (Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News