Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Dalam rangka menggenjot penerimaan negara, pemerintah akan melakukan penindakan terhadap Very High Risk Importer (VHRI) atau importir ilegal.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menggandeng pimpinan dari berbagai lembaga, mulai dari TNI, Polri, Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Kejaksaan, PPATK, hingga KPK untuk bersama-sama menertibkan praktik merugikan tersebut. Pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) penertiban impor barang berisiko tinggi.
Sri Mulyani menjelaskan, dari sisi koordinasi, selama ini jumlah VHRI tidak terlalu banyak, yakni kurang dari 5% atau sekitar 4,7% dari total volume impor di Indonesia. Namun dari sisi reputasi dan risiko, VHRI dapat menimbulkan berbagai persoalan baru, salah satunya, menciptakan ketidakadilan dalam persaingan usaha dengan para pelaku usaha formal.
Bahkan, jika dibiarkan terus-menerus, praktik impor ilegal ini bisa merusak tatanan ekonomi. "Jumlahnya memang kecil, namun penetrasinya ke dalam sistem cukup dalam dan rumit," kata Ani. Ia menjelaskan kedalaman penetrasi dari impor ilegal tersebut bisa berujung pada kerugian negara.
Berapa nominal pasti kerugian negara, Ani belum bisa menyebutnya secara pasti, karena kebanyakan dari oknum tersebut menyelundupkan berbagai barang. "Kalau dari sisi nilai, kami tidak tau berapa nilainya. Jenis barang yang diselundupkan bermacam-macam. Dan mereka biasanya dalam satu kontainer terdiri atas berbagai macam jenis barang. Sehingga perlu ditangani dalam bentuk pemeriksaan langsung," tuturnya.
Jenis barang yang diselundupkan biasanya berupa barang borongan, seperti barang tekstil, elektronik, barang konsumsi borongan, dan sebagainya. Tak hanya kerugian secara materi yang dialami negara, Ani mengatakan jika praktik VHRI ini juga bisa menyebabkan pengurangan dwelling time di pelabuhan terhambat, karena dari sisi transparansi baranglah yang menjadi subjek resiko untuk diperiksa.
“Mereka adalah importir yang selama ini dari sisi lokasi, aktivitasnya, record-nya dianggap tidak memiliki reputasi yang baik, ujar Ani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (12/7).
Ia mengungkapkan, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tidak bisa berjalan sendiri untuk memberantas persoalan impor ilegal. Ia menjelaskan, selama ini, oknum importir ilegal kerap bekerjasama dengan beberapa oknum bea cukai, dengan menggunakan alasan bahwa mereka juga perlu menghidupi lembaga yang lain.
Atau bahkan ada oknum lembaga tertentu yang membekingi kegiatan ilegal tersebut. "Dalam hal ini, excuse atau alasan tersebut sering dipakai untuk mengatakan bahwa kami tidak mampu membersihkan sendiri kalau kami tidak didukung oleh kementerian- lembaga yang lain, utamanya TNI, Polri, dan Kejaksaan. Kerja sama juga penting untuk konsisten menjaga supaya jajaran saya bersih," ungkapnya.
Ani menampik jika Satgas ini disebut sebagai lembaga baru. Ia menegaskan, pembentukan Satgas ini merupakan kesepakatan dari seluruh pemimpin beberapa lembaga dengan Kementerian Keuangan (Kemkeu) sebagai koordinatornya.
“Sebetulnya tidak membentuk lembaga baru, tetapi sinyal untuk para aparat saya di dalam. Selama ini saya sampaikan pajak dan bea cukai bekerjasama karena ternyata dari dua instansi ini ternyata banyak sekali lubang-lubang yang bisa ditutup," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News