Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otot rupiah menguat. Data Bloomberg, rupiah di pasar spot pada pukul 18.11 WIB, rupiah di level 13.972 per dollar Amerika Serikat (AS), menguat 1,12% dari posisi sebelumnya. Adapun, rupiah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) juga menguat 0,28% ke level Rp 14.072 per dollar AS..
Penguatan rupiah tertopang kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed) yang mempertahankan suku bunga acuannya. Bahkan, jika merujuk stance hasil rapat FOMC, The Fed nampaknya akan bersabar dalam membuat keputusan perubahan suku bunganya (Fed Fund Rate). Bahkan, tak menutup kemungkinan memperlambat proses normalisasi neraca bank sentral AS.
“Nada dovish ini pula yang membuat pemilik dana melepas valas-,” ujar Kepala Departemen Pengeloaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah kepada kontan.co.id, kemarin. (31/1). Para pemilik dana melihat stance kebijakan The Fed ini tersebut membuat kemungkinan kenaikan FFR hingga Desember ini semakin kecil dengan kemungkinanya 22%.
Perubahan kebijakan moneter The Fed ini pula membuat penurunan imbal hasil atau yield US Treasury bond 10 tahun ke 2,5%. “Ini memperlebar spread imbal hasil yield SBN (surat utang negara) 10 tahun menjadi 560 bps,” ujar Nanang. Selisih imbal hasil SBN dan US Treasury bond ini pula diyakini akan menarik arus modal asing ke pasar surat utang negara.
Catatan BI, sampai pukul 15.00 WIB, arus modal asing yang masuk SBN mencapai Rp 3,65 triliun. Secara total, selama bulan Januari 2019, arus dana asing ke SBN dan saham sudah mencapai sekitar Rp 24 triliun.
Menurut Nanang, BI akan tetap menjaga rupiah sesuai fundamentalnya yakni dengan membiarkan rupiah terus melanjutkan penguatannya di bawah level 14.000. Pasalnya, “Rupiah masih undervalued, “ tegas Nanang.
Perubahan kebijakan bank sentral AS nampaknya berdasarkan pertimbangan outlook ekonomi AS dan ekonomi global. Kemerosotan ekonomi nampaknya tengah terjadi di banyak negara, antara lain Eropa, China serta Jepang. Dengan outlook ekonomi global seperti itu, “Stance kebijakan moneter the Fed yang dovish akan bisa bertahan lama,” ujar Nanang memprediksi.
Jika prediksi ini berlanjut akan mempengaruhi pasar keuangan negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. “Lalu lintas modal akan lebih banyak mengalir ke negara-negara emerging market, salah satunya Indonesia,” ujar Nanang yakin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News